Dilema Sedekah Kepada Pengemis

Jangan salah, baik para pengemis, apalagi “bosnya,” hidup mereka gak susah-susah banget, bahkan ada yang tingkat hidup ekonominya di atas rata-rata. Bagaimana tidak. Mereka di kampungnya punya rumah permanen. Dari kerangka beton. Ada yang bertingkat pula. Perabot dan dekorasinya juga bukan kaleng-kaleng. Sarana elektronik termasuk yang mutahir. Di garasi ada mobil. Bahkan ada yang dua sekaligus. Lebih hebat lagi, dari mereka ada yang…. punya isteri lebih dari satu. Tak heran, bisa saja mereka ekonominya justeru jauh lebih sejahtera ketimbang yang memberi sedekah kepada pengemis.

Padahal semua itu hasil dari mengemis. Ya usaha dari mengemis!
Hasil yang luar biasa itu tak terlepas pula dari cara kerjanya mirip mafia. Rapi, penuh tipu daya, dan terkontrol. Pendeknya mereka juga manageble, atau dengan manajemen yang baik. Belajar dari pengalaman, mereka pun mulai mengenal pendekatan terhadap birokrasi. Jika ada pengemis yang kena rahasia dan ditangkap polisi “tibum” alias polisi ketertiban umum dari polisi pamong praja, sudah ada “petugas khusus” yang bakal melakukan lobi dan negosiasi dengan pihak Sapol PP dan pihak-pihak terkait lainnya. Jadi amanlah. Paling kalaupun tertangkap , beberapa hari saja sudah bebas lagi. Para “petugas khusus” sudah mengaturnya.

Mereka sangat faham memanfaatkan empati dan dorongan masyarakat untuk menjalankan perintah agama. Walaupun tidak belajar, mereka pun nampaknya “menguasai psikologi sosial” ikhwal belas kasihan naluri kemanusiaan. Maka dibuatlah diri para pengemis menjadi dapat menghasilkan rasa iba.
Ada pengemis yang wajah dan tubuhnya dibuat dekil dan seakan-akan ada luka di sana sini. Itu semua rekayasa. Bohong. Semua buatan.

Ada pula pengemis yang membawa-bawa anak. Padahal anak itu bukan anak sendiri, tapi anak sewaan. Seharian si anak atau bahkan bayi disewa antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Lebih hebat, dan sekaligus sadis, anak-anak atau bayi-bayi itu sebelum “dikaryakan” diberikan sejenis obat tidur agar terus teler. Tujuannya untuk semakin membuat masyakarta iba. Para pengemis juga mengeksploitir kecacadan. Mereka menampilkan diri sebagai manusia dengan kaki atau tangan buntung sebelah. Asumsinya, semakin nampak menderita seorang pengemis, semakin bakal dikasihani oleh masyarakat, dan itu artinya cuan semakin besar.

Komentar