Pesan untuk Para Calon Menteri dan Pimpinan Lembaga Keamanan Nasional

Dominasi ABRI sangat terlihat, bahkan dalam Rapat Pimpinan (RAPIM) lima tahunan Golkar yang diselenggarakan oleh Staf Sospol ABRI. Dalam suprastruktur politik lainnya, Orba membentuk GOLKAR (huruf besar) yang terdiri dari tiga faksi: “A” (ABRI), “B” (Birokrasi, diwakili Mendagri), dan “G” (Fraksi Golkar di lembaga perwakilan). Selain itu, ABRI juga duduk di DPR/D dan Lembaga Utusan Golongan di MPR, sehingga di lembaga perwakilan, GOLKAR menjadi mayoritas mutlak. Setelah berakhirnya Lembaga Kompkamtib dan Bakorstanas, rekruitmen kader partai dan ormas ditangani oleh Wansospolpus di Mabes ABRI, dan Wansospolda di tingkat Kodam.

Orde Baru juga melakukan kontrol sosial melalui jajaran Komando Teritorial (Koter) TNI-AD dan aparat intelijen ABRI. Jutaan anak dari anggota PKI diberi stigma Tidak Bersih Lingkungan, yang membuat mereka dimarginalkan oleh negara. Peluang kerja yang terbuka bagi mereka sangat terbatas; perempuan hanya dapat bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) atau pelacur, sedangkan laki-laki terpaksa menjadi buruh tani, kuli bangunan, atau pekerja kasar lainnya. Mereka tidak mungkin menjadi pegawai negeri (PNS) apalagi prajurit TNI atau Polri. Bahkan untuk bekerja di perusahaan swasta yang mendapatkan fasilitas kredit bank, mereka akan terbentur oleh status Tidak Bersih Lingkungan.

Dalam skala yang lebih ringan, praktek marginalisasi serupa juga dialami oleh kelompok yang menganut politik Islam, dengan stigma EKKA. Selain itu, kaum terpelajar yang tidak mendukung Orde Baru juga mendapat stigma EKLA. Beban ini semakin berat bagi mereka yang lahir dari keluarga miskin. Bukan karena mereka malas, tetapi karena negara salah kelola. Sumber daya nasional hanya dikuasai oleh segelintir kroni penguasa, sehingga angka kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia saat ini sangat tinggi. Sistem politik yang mengandalkan biaya tinggi telah memperparah praktek oligarki di negeri ini.

Di tengah situasi ini, TNI dalam era demokrasi memilih untuk “bertapa dalam hiruk pikuk kekuasaan” (Tapa Sajeroning Projo). Dengan gaji yang sederhana, mereka tetap konsisten mengamalkan kode etik prajurit—prasojo (sederhana), jujur, dan irit—tanpa mengeluh atau merasa iri dengan rekan-rekan sejawat yang hidup mewah dan sibuk memperkaya diri dengan mengorbankan martabat. Meski demikian, berkat soliditas dan tingginya legitimasi publik, TNI diyakini akan tetap mampu menjaga keutuhan NKRI dalam situasi tertentu.

Komentar