Oleh: Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi.
Berkat kebijakan Reformasi Internal ABRI yang diambil oleh Panglima ABRI, Jenderal TNI Wiranto, menjelang akhir masa pemerintahan Orde Baru (Orba), bangsa kita berhasil terhindar dari konflik berdarah. Pengerahan TNI untuk menangani kekacauan umum dan menegakkan kedaulatan pemerintah, yang sering terjadi di era sebelumnya, tidak perlu dilakukan lagi.
Namun, setelah 27 tahun berakhirnya Orba yang dikenal militeristik, otoriter, dan sarat dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), kita justru mengalami kemerosotan moral yang signifikan. KKN, mafia, dan pelanggaran etika moral yang sebelumnya terkendali, kini berkembang liar, bahkan menjadi budaya di kalangan masyarakat, terutama di antara para elit.
Mengambil Pelajaran dari Masa Lalu
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, perpolitikan nasional Indonesia didominasi oleh tiga kekuatan utama: Bung Karno, PKI, dan TNI. Ketika PKI dibubarkan dan Bung Karno tersingkir dari kekuasaan, TNI Angkatan Darat (AD) menjadi kekuatan politik dominan di Indonesia. Untuk mengokohkan kekuasaannya, Orde Baru (Orba) melakukan operasi militer yang dipimpin oleh TNI-AD dalam menumpas G30S/PKI, di mana banyak warga sipil yang tidak bersenjata kehilangan nyawa dalam jumlah besar.
Sebagian lainnya menjalani hukuman penjara atau dikucilkan ke wilayah tertentu, seperti Pulau Buru, tanpa melalui proses peradilan yang sah. Jika kita jujur, kekerasan negara ini menimbulkan dendam mendalam di kalangan masyarakat, melanjutkan luka lama yang sudah ada sejak penumpasan DI/TII, PRRI, dan Permesta.
Kemudian, melalui TAP MPRS dan Undang-Undang, ABRI diposisikan sebagai alat kekuasaan dengan konsep Dwi Fungsi ABRI (DFA). ABRI, khususnya TNI-AD, tidak hanya menduduki posisi penting dalam pemerintahan, mulai dari RT, lurah, bupati, hingga presiden, tetapi juga menguasai Golkar (huruf kecil) yang berperan seperti partai politik.
Komentar