Namun, perlawanan terhadap politik uang tidak cukup hanya berfokus pada masyarakat. Reformasi internal di tubuh partai politik juga sangat mendesak. Partai harus mengubah mekanisme seleksi calon dengan basis meritokrasi, bukan kedekatan politik atau kekuatan finansial. Tanpa reformasi ini, partai politik akan terus menjadi agen yang memperkuat korupsi dan politik transaksional, dan harapan akan munculnya pemimpin yang berintegritas akan semakin jauh. Lebih dari itu, pendidikan juga memiliki peran fundamental dalam menciptakan pemimpin berkualitas. Ironisnya, banyak lulusan yang memperoleh beasiswa untuk belajar di luar negeri justru kembali ke Indonesia dengan ambisi pribadi yang lebih besar daripada komitmen untuk memajukan negara. Pendidikan yang seharusnya menjadi fondasi untuk membentuk pemimpin berwawasan luas dan inovatif, sering kali malah melahirkan individu yang hanya mengejar kekuasaan. Paradigma pendidikan harus diubah secara mendasar, dengan penekanan yang lebih besar pada penanaman nilai-nilai kepemimpinan yang berorientasi pada pelayanan publik dan pengabdian.
Pada akhirnya, jika kita ingin Pilkada melahirkan pemimpin yang benar-benar negarawan, berintegritas tinggi, dan “sudah selesai dengan dirinya sendiri,” maka kita memerlukan koreksi total terhadap seluruh aspek proses politik. Kartel politik dan politik uang harus dilawan habis-habisan, seleksi calon pemimpin harus berlangsung adil dan transparan, dan masyarakat harus diberdayakan untuk memilih berdasarkan kompetensi dan integritas. Partai politik juga harus menjalankan reformasi radikal untuk mengusung pemimpin-pemimpin yang layak memimpin. Lebih dari sekadar pemilihan, Pilkada adalah pertaruhan masa depan daerah dan negara. Hanya dengan memilih pemimpin yang berkualitas, kita bisa memastikan bahwa pembangunan berjalan dengan baik, kesejahteraan rakyat meningkat, dan otonomi daerah terwujud dalam realitas yang nyata, bukan sekadar slogan.
Oleh: Dr. Benny Susetyo, Pakar Komunikasi Politik
Komentar