Akumulasi dampak dari penerapan paham kenegaraan dan kebangsaan yang invalid selama ini telah menyebabkan hilangnya etika moral elit penyelenggara negara. Mereka tidak lagi merasa malu, apalagi bersalah, atas apa yang mereka jalani dalam keseharian. Bahkan, elit penyelenggara negara akhirnya menjadi kaum munafik, sekaligus penyembah berhala (materi, pangkat, dan jabatan). Contoh tak terbantahkan adalah penggunaan biaya pengawalan pejabat negara yang sering kali justru menyebabkan kekacauan lalu lintas. Di mana-mana jalan macet, tetapi saat pejabat lewat, dengan pengawalan, rakyat yang notabene adalah majikan mereka, dipaksa untuk minggir. Mereka bahkan tak peduli jika harus menerjang lampu merah di persimpangan jalan. Belum lagi warisan Orde Baru yang terus berlanjut, di mana supir, ajudan, dan pengawal yang hidupnya dibiayai dengan pajak rakyat harus menunggu petinggi penyelenggara bermain golf. Bahkan biaya tiket masuk lapangan golf pun menggunakan dana APBN. Anehnya, kenikmatan semacam itu tidak dianggap sebagai hal yang mendasar yang harus dihindari oleh setiap penyelenggara negara, sebagaimana dicontohkan oleh para pelayan rakyat di negara demokrasi.
Solusi yang Bisa Ditempuh
Sudah barang tentu, karena keadaan yang hendak diubah terkait dengan kejiwaan bangsa yang sudah membudaya, dan agar ke depan tidak ada lagi rakyat yang menjadi korban dalam perubahan ini, serta agar tidak ada dendam baru, kita tidak perlu melakukan “potong generasi” seperti yang dilakukan oleh Soeharto. Cukuplah dengan upaya terukur untuk menyudahi pasungan paham invalid tersebut dalam bentuk pembangunan karakter bangsa pada generasi muda dengan:
- Menyusun Ulang Sejarah Kemerdekaan
Sejarah kemerdekaan harus disusun ulang sepenuhnya berdasarkan fakta yang menyertai berdirinya NKRI. Sejarah harus diluruskan, dengan tidak lagi menempatkan bahwa “kemerdekaan kita didapat dengan merebut.” Selanjutnya, narasi ini harus diganti dengan menempatkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai “kontrak sosial” berdirinya NKRI.
- Revolusi Mental bagi Jajaran Birokrasi Pemerintahan
Program Revolusi Mental yang terukur diperlukan untuk mengubah cara pandang penyelenggara negara yang harus menempatkan dirinya sebagai pelayan rakyat. Sebaliknya, mereka harus menempatkan rakyat sebagai majikan.
Upaya untuk mengakhiri belenggu residu masa lalu berupa paham invalid lainnya seperti paham “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dalam prakteknya bergeser menjadi “Negara Berdasarkan Agama,” serta bobroknya moral sebagian besar elit bangsa, akan dibahas tersendiri dalam tulisan serial berikutnya.
Dirgahayu NKRI pada HUT ke-79, 17 Agustus 2024.
Komentar