Posisikan Rakyat Sebagai Majikan & Penyelenggara Negara Adalah Pelayan Rakyat

Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari serial artikel yang disusun untuk melengkapi penjelasan pada subjudul “Penerapan Paham Kenegaraan dan Kebangsaan yang Invalid” dalam tulisan pertama berjudul “Tujuh Presiden Belum Berhasil Mewujudkan NKRI sebagai Wadah dan Alat Bersama bagi Segenap Anak Bangsa.” Artikel ini diterbitkan dalam rangka menyambut HUT RI ke-79.

Belenggu realitas yang selama ini memasung NKRI, selain karena UUD yang belum ber-DNA Pancasila dan belum konstitutif serta asistemik, juga disebabkan oleh penerapan paham kenegaraan dan kebangsaan yang invalid. Salah satu paham yang perlu dikritisi adalah “Kemerdekaan NKRI Diperoleh dengan Merebut,” yang memiliki andil besar dalam merusak kejiwaan bangsa.

Paham tersebut secara otomatis menempatkan rakyat bukan sebagai “pemegang saham” atas NKRI, tetapi hanya sebagai peserta dari negara yang didirikan oleh sekelompok anak bangsa yang berhasil merebut kemerdekaan.

Kemerdekaan NKRI Bukan Diperoleh dari Merebut

Sebagaimana yang tertulis dalam buku sejarah yang diajarkan di semua tingkatan sekolah, kemerdekaan negara kita diperoleh dengan cara merebut. Narasi ini sebenarnya hanyalah dongeng semata, karena tidak didasarkan pada fakta sosial yang menyertainya. Bagaimana mungkin kemerdekaan NKRI diperoleh dengan cara merebut, padahal Belanda sudah meninggalkan Indonesia 3,5 tahun sebelumnya? Sementara itu, kehadiran Jepang di bumi Nusantara justru disambut oleh orang tua kita sebagai saudara tua, bahkan mereka dibantu oleh anak-anak muda bangsa yang dijadikan “Romusha” (kerja paksa) dan tenaga bantuan operasional militer lainnya.

Memang benar, para pendiri bangsa, baik yang kooperatif maupun yang tidak dengan Belanda, telah berjuang menumbuhkan rasa kebangsaan yang satu dan melahirkan kehendak bersama untuk membentuk pemerintahan yang diurus oleh bangsa sendiri melalui keberadaan sebuah negara.

Merujuk pada teori kontrak sosial berdirinya negara yang dikenalkan oleh John Locke dan Thomas Hobbes pada abad ke-17, maka rumusan sejarah yang benar dan valid secara keilmuan serta sesuai fakta sosial pada saat itu adalah dengan menempatkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai “kontrak sosial” berdirinya NKRI. Kebenaran paham ini dapat dibuktikan dengan bangkitnya perlawanan rakyat Surabaya dan sekitarnya ketika tentara sekutu mendarat di Surabaya untuk melucuti bala tentara Jepang sekaligus mengantar NICA (PNS Pemerintahan Belanda), yang kemudian diikuti perlawanan secara menyeluruh di semua wilayah NKRI terhadap Belanda.

Perubahan Paham yang Mendasar

Perubahan paham ini sangat mendasar agar ke depan rakyat diposisikan sebagai pemilik “saham” atas NKRI, dan tidak lagi diposisikan sebagai penumpang atas negeri yang didirikan oleh sekelompok pejuang yang berhasil merebut kemerdekaan NKRI. Dampak ikutan dari perubahan paham ini juga sejalan dengan tuntutan norma dasar demokrasi, di mana rakyat bertanggung jawab atas keberadaan negara, salah satunya diwujudkan dalam bentuk kewajiban membayar pajak dan retribusi untuk membiayai negara, termasuk menghidupi para penyelenggara negaranya.

Penyelenggara Negara adalah Pelayan Rakyat

Dalam negara demokrasi manapun, kaidah universal menempatkan semua penyelenggara negara, dengan pangkat dan jabatan apapun, termasuk anggota TNI dan Polri, sebagai pelayan rakyat. Mereka menerima penghasilan dari uang rakyat dan harus memposisikan diri sebagai pelayan rakyat. Di sisi lain, karena rakyat yang membiayai operasional negara, termasuk menghidupi para penyelenggara negara beserta keluarganya melalui pajak dan berbagai retribusi, maka rakyat harus diposisikan sebagai majikan.

Komentar