JurnalPatroliNews – Bangka Belitung – Aktivitas tambang timah ilegal di kawasan Hutan Mangrove Sungai Rumpak, Belinyu, Kabupaten Bangka, bukanlah fenomena baru. Namun, eskalasinya yang terus terjadi, bahkan setelah pemasangan spanduk larangan oleh pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bubus Panca, menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa penindakan oleh Polres Bangka dan Polda Kepulauan Bangka Belitung begitu lambat?
Ketidakmampuan aparat dalam menangani permasalahan ini telah berdampak serius pada ekosistem lingkungan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat, terutama nelayan kecil.
Dampak Sosial-Ekonomi: Nelayan Kehilangan Mata Pencaharian
Hutan mangrove Sungai Rumpak adalah ekosistem penting yang berfungsi sebagai habitat alami bagi ikan, kepiting, dan udang. Kehancuran mangrove akibat aktivitas tambang ilegal telah menghancurkan sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup nelayan kecil. Ali dan Eko Sanjaya, nelayan setempat, adalah contoh nyata korban dari lambannya penegakan hukum. Mereka kini kehilangan tempat mencari nafkah dan terpaksa hidup dalam ketidakpastian ekonomi.
“Kami tak tahu lagi harus mencari nafkah di mana,” kata Eko dengan nada pilu. Pernyataan ini mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi hak ekonomi rakyat kecil. Pasal 33 UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
Kerusakan Ekosistem dan Pelanggaran Hukum
Kerusakan ekosistem mangrove di Sungai Rumpak juga melanggar berbagai ketentuan hukum yang seharusnya ditegakkan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas melarang aktivitas yang merusak hutan tanpa izin. Pasal 78 ayat (2) mengatur hukuman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar bagi pelaku perusakan. Namun, ratusan ponton yang terus beroperasi menunjukkan betapa lemahnya implementasi aturan ini.
Tambang ilegal juga melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang telah direvisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2020. Pasal 158 memberikan ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar bagi pelaku yang tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP). Selain itu, pihak penadah hasil tambang ilegal juga dapat dijerat dengan Pasal 480 KUHP tentang penadahan, yang membawa ancaman pidana hingga 4 tahun penjara.
Ketidakmampuan atau Ketidakmauan Aparat?
Fakta bahwa ratusan ponton tambang ilegal dapat beroperasi tanpa hambatan mengindikasikan adanya dugaan pembiaran atau bahkan keterlibatan oknum aparat. Informasi dari lapangan menyebutkan adanya koordinasi terorganisir untuk mendukung aktivitas tambang ilegal, termasuk pasokan bahan bakar minyak (BBM) ilegal dan penerimaan dana operasional komandan oleh oknum berseragam.
Komentar