Oleh: Antonius Benny Susetyo, Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP
Pada hari Senin, 2 September 2004, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Universitas Negeri malang mengadakan sebuah Focus Group Discussion (FGD). Forum ini menghadirkan diskusi penting mengenai rapuhnya etika penyelenggaraan negara, khususnya dalam konteks etika sosial dan pendidikan di Indonesia.
Tema besar yang diangkat adalah tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia saat ini, terutama terkait dengan kapitalisme global yang mereduksi pendidikan menjadi instrumen untuk kepentingan ekonomi semata, jauh dari visi luhur para pendiri bangsa. Pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi pilar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia telah kehilangan arah, dan tidak lagi mencerminkan visi luhur yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan yang seharusnya membentuk manusia yang cinta tanah air, budayanya, dan bangsanya, kini lebih berorientasi pada pasar kerja dan industri. Tujuan pendidikan berubah menjadi sekadar mencetak tenaga kerja yang siap pakai, sementara nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan budaya justru terpinggirkan.
Pendidikan yang idealnya memanusiakan manusia kini beralih menjadi komoditas yang diperdagangkan. Akses terhadap pendidikan yang berkualitas semakin terbatas, di mana hanya mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang mampu mengaksesnya. Kapitalisme global telah meresapi sistem pendidikan kita, menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk menghasilkan profit daripada sarana menciptakan manusia yang merdeka, berkepribadian, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi.
Kapitalisme global telah menanamkan pengaruh yang kuat dalam sistem pendidikan Indonesia. Perguruan tinggi dan sekolah-sekolah tidak lagi memprioritaskan pendidikan untuk semua, melainkan cenderung berorientasi pada keuntungan. Biaya pendidikan yang semakin tinggi membuat pendidikan berkualitas hanya dapat diakses oleh kalangan yang mampu. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin tajam di antara anak-anak bangsa. Pendidikan yang hanya berorientasi pada pasar kerja menciptakan sistem yang sempit dan terbatas. Mahasiswa dan siswa didorong untuk mengejar keterampilan yang dibutuhkan oleh industri, sementara nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi fondasi dalam pembentukan karakter manusia terabaikan. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya menciptakan manusia yang mampu berpikir secara kritis dan merdeka, namun kini sistem pendidikan kita justru menghasilkan individu-individu yang terkungkung dalam pola pikir mekanistik dan pragmatis.
Komentar