Aktivitas Tambang Ilegal Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat, DPR Minta Pemerintah Bertindak Tegas

JurnalPatroliNews – Jakarta – Keberadaan aktivitas pertambangan nikel tanpa izin lingkungan yang memadai di wilayah Raja Ampat, Papua Barat, memicu kekhawatiran serius terhadap kerusakan ekosistem laut yang menjadi kekayaan hayati Indonesia. Anggota Komisi VII DPR RI, Ratna Juwita Sari, mendesak pemerintah untuk segera melakukan penindakan tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti melanggar.

Ratna mendukung keputusan sementara pemerintah untuk menghentikan kegiatan operasional PT Gag Nikel, yang merupakan anak usaha dari PT Antam Tbk. Namun, menurutnya, langkah tersebut belum cukup.

“Perusahaan lain yang juga menambang tanpa memperhatikan aspek lingkungan perlu ditindak. Bahkan kalau perlu, izin mereka dicabut, apalagi jika sudah ada temuan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Ratna dalam pernyataan tertulisnya, Minggu, 8 Juni 2025.

Ratna menyebut beberapa perusahaan yang diduga kuat melanggar aturan. Yang pertama adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), yang beroperasi di Pulau Manuran seluas 746 hektare. Perusahaan ini dituding tidak memiliki sistem pengelolaan lingkungan dan tidak mengolah air limbah tambangnya.

“Dari hasil pengawasan KLHK, kolam pengendapan air limbah mereka jebol karena hujan deras. Citra drone menunjukkan pesisir laut menjadi keruh akibat sedimentasi, dan ini jelas merusak habitat laut Raja Ampat,” jelasnya.

Perusahaan kedua yang disorot adalah PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), pemegang IUP sejak 2013 dengan luas area izin mencapai 5.922 hektare. Namun, sejak 2024, KSM disebut telah menambang di luar wilayah yang mendapat persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH).

“Mereka menggali nikel di lahan 89,29 hektare, sementara izin PPKH hanya untuk lima hektare di Pulau Kawe. Dampaknya, sedimen sudah mengotori pesisir hingga ke akar-akar mangrove,” tegas Ratna.

Selanjutnya, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) juga menjadi sorotan. Perusahaan ini memiliki konsesi di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele dengan total luas sekitar 2.194 hektare. Namun, MRP disebut belum mengantongi PPKH meskipun telah melakukan aktivitas eksplorasi.

“Padahal, pada 9 Mei 2025 mereka sudah melakukan pengeboran eksplorasi di Pulau Batang Pele dengan menempatkan 10 mesin bor coring. Ini bukti bahwa perusahaan beroperasi tanpa izin yang lengkap,” tutup Ratna.

Ratna menekankan pentingnya perlindungan kawasan Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu pusat biodiversitas laut dunia. Menurutnya, jika dibiarkan, eksploitasi liar ini dapat merusak warisan alam tak ternilai yang seharusnya dijaga bersama.

Komentar