DPR Pertanyakan Sikap Pemerintah: Kenapa Hanya Anak Usaha BUMN yang Kena Sanksi di Raja Ampat?

JurnalPatroliNews – Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti perlakuan berbeda yang ditunjukkan pemerintah terhadap pelaku pertambangan di kawasan konservasi Raja Ampat.

Komisi XII mengkritik Kementerian ESDM karena dinilai hanya menyasar perusahaan milik negara, sementara pelanggaran yang dilakukan perusahaan swasta tampak dibiarkan begitu saja.

Wakil Ketua Komisi XII, Bambang Hariyadi, menyampaikan kekhawatirannya atas pendekatan tidak adil pemerintah, menyusul dihentikannya sementara aktivitas PT Gag Nikel, yang merupakan anak usaha PT Antam Tbk.

“Apa yang kami lihat justru tidak adil. Hanya Gag Nikel yang ditindak, sementara tiga perusahaan swasta dengan dugaan pelanggaran lebih berat justru lolos dari tindakan tegas,” ujar Bambang dalam keterangannya pada Minggu, 8 Juni 2025.

Bambang menyebutkan nama tiga perusahaan yang dianggap bermasalah: PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Ia menjelaskan bahwa laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup mengindikasikan adanya pelanggaran berat, mulai dari pencemaran laut hingga aktivitas tambang ilegal tanpa izin lingkungan yang sah.

ASP, perusahaan yang memiliki hubungan dengan investor asal Tiongkok, dituding menjadi penyebab pencemaran laut akibat limbah tambang yang tidak terkelola dengan baik. Bambang menyebut bahwa tindakan ASP telah merusak keseimbangan ekosistem perairan setempat.

PT KSM, yang mulai aktif menambang sejak tahun lalu, dinilai sangat berisiko karena aktivitasnya berada di dekat kawasan konservasi yang kaya akan biodiversitas.

Sementara PT MRP disebut telah melakukan pengeboran di sepuluh titik tanpa dilengkapi dengan dokumen izin lingkungan maupun persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH), yang merupakan prasyarat hukum untuk kegiatan eksplorasi.

Ironisnya, menurut Bambang, hanya PT Gag Nikel yang mendapatkan sanksi resmi berupa penghentian operasional, meskipun pelanggaran yang dilakukan terbilang minor dan masih dalam tahap evaluasi perbaikan lingkungan. Bahkan lokasi operasi PT Gag disebut jauh dari titik-titik wisata Raja Ampat yang sensitif.

“Yang dikenai sanksi justru perusahaan milik negara dengan izin kontrak karya yang resmi. Sedangkan tiga perusahaan swasta lainnya hanya mengantongi izin dari pemerintah daerah dan justru menjadi aktor utama perusakan lingkungan,” ujarnya.

Ia menutup pernyataannya dengan menyebut diamnya pemerintah atas aktivitas ilegal ketiga perusahaan swasta itu sebagai bentuk pembiaran terhadap kerusakan ekologis yang tak bisa dikembalikan lagi.

“Kalau negara terus memilih diam, itu artinya kita sedang menyaksikan penghancuran warisan dunia dengan mata terbuka,” pungkas Bambang.

Komentar