JurnalPatroliNews – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah dinilai berpotensi mengabaikan aspirasi rakyat yang telah memberikan suaranya dalam Pemilu Serentak 2024.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, menyampaikan bahwa keputusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 perlu mempertimbangkan secara serius dampak yang ditimbulkannya terhadap pemilih.
Pasalnya, isi putusan MK tersebut mengatur agar pelaksanaan pemilu nasional dan lokal dilakukan secara terpisah dengan selisih waktu 2,5 tahun. Hal ini dinilai akan menimbulkan masalah baru, karena masa jabatan kepala daerah dan anggota legislatif tingkat provinsi serta kabupaten/kota dapat melampaui periode yang telah ditentukan.
“Jika pemilu nasional dilangsungkan pada 2029 dan pemilu daerah baru digelar di 2031, lalu bagaimana mekanisme peralihan kepemimpinan di level daerah?” ujar Neni kepada RMOL pada Senin, 30 Juni 2025.
Ia menyoroti bahwa jeda dua tahun tersebut dapat menimbulkan kebingungan, terutama terkait masa jabatan para gubernur, bupati, wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang habis di tahun 2029.
“Akan ada kekosongan kekuasaan. Apakah akan ada pengangkatan pelaksana tugas? Atau justru masa jabatan mereka diperpanjang?” lanjutnya.
Atas dasar itu, DEEP Indonesia mendorong DPR RI untuk segera mencari formulasi terbaik agar pelaksanaan pemilu nasional dan daerah tetap dapat berjalan tanpa mengganggu prinsip demokrasi.
Menurut Neni, bila masa jabatan para pejabat yang dipilih melalui Pemilu dan Pilkada 2024 diperpanjang, maka legitimasi politik mereka berpotensi dipertanyakan oleh publik.
“Jika perpanjangan jabatan itu dilakukan, maka bisa memunculkan risiko baru terhadap prinsip kedaulatan rakyat yang telah memberikan mandat melalui pemilu,” pungkasnya.
Komentar