Ia menegaskan bahwa pemerintah bisa saja tetap mengandalkan utang untuk membiayai program strategis tanpa melakukan efisiensi. Namun, selama ini utang negara justru sering digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak produktif.
“Kita berutang untuk perjalanan dinas, acara seremonial, seminar, hingga forum diskusi yang tidak berdampak nyata bagi rakyat. Bahkan, utang kita digunakan untuk menutup defisit akibat korupsi,” ujarnya.
Haris juga menyoroti bagaimana sejak era reformasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh konsumsi yang bersumber dari belanja pemerintah, termasuk perjalanan dinas pejabat yang dinilainya tidak produktif.
“Perjalanan dinas pejabat pusat dan daerah telah menjadi rantai ekonomi semu yang hanya menguntungkan sektor penerbangan, hotel, restoran, dan layanan lainnya, tanpa dampak langsung bagi masyarakat luas,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti kebiasaan Kementerian Keuangan yang selama ini cenderung nyaman dengan defisit anggaran sebagai alasan untuk terus menambah utang.
Menurutnya, pengalihan anggaran Rp306 triliun dari sektor tidak produktif ke program yang lebih berdampak nyata bagi masyarakat adalah langkah besar dalam reformasi kebijakan fiskal Prabowo.
“Saya melihat ini sebagai revolusi politik dalam pengelolaan keuangan negara,” tegasnya.
Meski begitu, Haris mengakui bahwa merombak kebiasaan lama ini tidak mudah. Membangun pola pikir baru yang lebih sesuai dengan amanat UUD 1945 memerlukan proses panjang.
Ia pun menyebut kebijakan ini sebagai Prabowocare, sebuah konsep yang lebih menitikberatkan pada kesejahteraan rakyat dibandingkan hanya menjaga stabilitas makroekonomi semata.
Komentar