JurnalPatroliNews – Jakarta – Tulisan ini bukan lahir dari keberpihakan atau urusan pragmatis kekuasaan. Ia muncul dari perenungan panjang, disaring dari pengalaman pribadi yang pernah membentur langsung realitas kekuasaan di jalanan.
Saya masih mengingat betul peristiwa 27 Juli 1996—Kudatuli, tragedi yang mengguncang Jakarta. Kala itu, saya ikut turun ke aspal, menyuarakan keresahan bersama rakyat yang gelisah. Sepulangnya ke Semarang, saya tiba-tiba dipanggil secara diam-diam oleh aparat. Sebuah interogasi senyap di markas Kodim, menyusul aksi saya di ibukota. Kabar itu sampai juga ke ayah saya—seorang perwira di Penerbad yang bertugas di Pangkalan Militer Ahmad Yani.
Alih-alih marah, beliau justru memberi pelajaran penting. “Jangan tertipu oleh riuhnya panggung politik. Yang sesungguhnya menentukan arah kekuasaan adalah apa yang tak tampak. Itu yang disebut ‘medan pembantaian’ — The Killing Ground.” Kalimat itu terus bergaung di kepala saya hingga hari ini.
Kini, saat estafet kekuasaan dari Presiden Jokowi berpindah ke tangan Prabowo Subianto, saya kembali merenungi makna pesan ayah saya. Transisi tampak tertib di permukaan. Namun jika kita mengamati lebih dalam, sebenarnya sedang terjadi pertarungan yang jauh dari sorotan kamera—sebuah perebutan medan kuasa yang senyap, terstruktur, dan sarat intrik.
Ada Apa di Balik Barisan Pendukung Prabowo?
Jika kita memandang tanpa fanatisme, hanya dengan akal sehat, pertanyaannya sederhana: Di mana posisi Jokowi dalam seluruh orkestrasi transisi ini?
Saat ini kita menyaksikan pemandangan aneh: sosok-sosok yang dulu lantang menentang Prabowo, kini justru menjadi bagian dari barisan pendukungnya. Ini bukan rekonsiliasi ideologis, melainkan manuver kamuflase untuk mempertahankan dominasi kekuasaan lama.
Prabowo tentu tidak buta. Ia paham benar bahwa dalam lingkaran terdekatnya, ada banyak faksi yang membawa agenda tersembunyi—mulai dari kelompok elite birokrasi lama, oligarki bisnis yang terbiasa mendapat previlege, hingga pengendali opini publik berbaju buzzer dan pemilik media.
Tapi justru di sinilah mungkin ia sedang memainkan strategi paling senyap: menciptakan “The Killing Ground”, sebuah arena eliminasi yang tidak menggunakan senjata, melainkan hukum, opini publik, dan keputusan kebijakan.
Strategi Tanpa Peluru: Menyusun Perang Dalam Diam
Dalam doktrin intelijen klasik, “killing ground” adalah jebakan yang tampak seperti kompromi. Musuh masuk dengan percaya diri, hanya untuk dilumpuhkan secara perlahan dan tanpa perlawanan. Jika benar strategi ini sedang digelar Prabowo, maka eliminasi terhadap faksi lama tak akan berlangsung frontal—melainkan sistematis dan terukur.
Targetnya jelas: elite lama yang selama satu dekade menjadi arsitek kuasa Jokowi—pengelola megaproyek, pengendali anggaran, para taipan yang punya akses istimewa, hingga penata narasi publik. Mereka berharap Prabowo cukup pasif agar sistem lama tetap hidup dalam bungkus baru.
Namun sejarah selalu memberi dua jalan pada setiap pemimpin: menjadi boneka politik atau aktor perubahan sejati.
Komentar