Yayasan RSI NTB Dinyatakan Harus Lunasi Utang Rp2,7 Miliar, Pakar: Putusan Wajib Dijalankan!

JurnalPatroliNews – Jakarta – Sengketa antara Yayasan Rumah Sakit Islam (RSI) NTB dan kontraktor Soenarijo terkait proyek pembangunan SDIT Yarsi Mataram kini telah mencapai tahap akhir secara hukum. Pengadilan telah mengeluarkan putusan berkekuatan tetap (inkrah) yang mengharuskan pihak yayasan melunasi sisa pembayaran sebesar Rp2,7 miliar.

Menurut ahli hukum perdata dari Universitas Mataram, Joko Jumadi, ketika suatu putusan telah inkrah, tidak ada lagi ruang untuk mengelak dari pelaksanaan kewajiban hukum tersebut.

“Proses persidangan sudah tuntas, dan hasilnya jelas: yayasan wajib membayar. Sekarang tinggal dilihat bagaimana proses eksekusinya,” kata Joko dalam keterangannya, Selasa, 6 Mei 2025.

Joko juga menyampaikan bahwa pengadilan telah melakukan aanmaning, yakni teguran resmi terhadap pihak yayasan agar menjalankan isi putusan secara sukarela. Jika tetap tidak dijalankan, maka jalur paksa melalui penyitaan aset dapat dilakukan.

“Setelah aanmaning, seharusnya tak ada lagi alasan untuk menunda. Itu bentuk peringatan terakhir sebelum pengadilan bergerak menyita,” tegasnya.

Terkait rencana cicilan Rp10 juta per bulan yang diusulkan pihak yayasan, Joko menganggap itu bukan solusi ideal, sebab nilai utangnya cukup besar dan penggugat berhak mendapatkan penyelesaian yang adil dan tidak berlarut.

“Cicilan Rp10 juta sebulan untuk total Rp2,7 miliar itu jelas akan memakan waktu terlalu lama. Jika tidak ada itikad menyelesaikan secara cepat, maka opsi lelang aset sah dilakukan,” ujarnya.

Permasalahan ini bermula saat Yayasan RSI NTB menandatangani kontrak senilai Rp11,2 miliar dengan kontraktor Soenarijo pada 11 Juni 2020 untuk merenovasi SDIT Yarsi di Mataram. Namun proyek dihentikan secara sepihak oleh yayasan pada 29 Juni 2021 tanpa adanya kondisi force majeure yang sah.

Alih-alih menyelesaikan kontrak, yayasan justru menunjuk pemborong baru dan menolak membayar nilai pekerjaan yang telah diselesaikan Soenarijo. Menurut penggugat, pekerjaan telah selesai hingga 68,39 persen, yang bila dikonversi ke nilai kontrak setara dengan Rp7,65 miliar, ditambah pekerjaan tambahan sekitar Rp339 juta.

Namun, dari total Rp7,99 miliar itu, yayasan hanya melakukan pembayaran sebesar Rp5,21 miliar. Sehingga sisa kewajiban yang belum dibayar sebesar Rp2,78 miliar menjadi dasar gugatan.

Dalam proses hukum yang berlangsung sejak 2021, Soenarijo turut meminta pengadilan agar menyita sejumlah aset milik yayasan sebagai jaminan pembayaran. Kini, dengan putusan final yang telah keluar, beban hukum sepenuhnya berada di pihak yayasan.

Komentar