Cuma Mau Ngasih Tahu Aja, Utang NKRI Sudah Tembus Rp6.500 T, Tapi Masih Aman Kok…

JurnalPatroliNews, Jakarta – Utang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) per April 2021 tembus Rp6.500 triliun. Naik Rp 82,22 triliun dibanding bulan sebelumnya yang masih Rp6.445,07 triliun.

Menukil data APBN KiTa Kementerian Keuangan, utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Rp 5.661,54 triliun atau 86,74 persen dan pinjaman Rp 865,74 triliun atau 13,26 persen. Rasio utang juga sudah mencapai 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Pinjaman pemerintah tersebut terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp12,32 triliun dan pinjaman luar negeriRp 853,42 triliun. Pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp328,59 triliun, multilateral Rp480,81 triliun, dan commercial bank Rp44,02 triliun.

Sementara SBN, terdiri dari domestik atau berdenominasi rupiah Rp4.392,96 triliun, terdiri Surat Utang Negara (SUN) Rp3.577,61 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp815,35 triliun. Sedangkan SBN valas Rp1.268,58 triliun, yang terdiri SUN Rp1.023,6 triliun dan SBSN Rp244,98 triliun.

Meski rasionya sudah 41,18 persen, pemerintah memastikan posisinya aman. Sebab, masih jauh di bawah batas yang ditentukan oleh Undang-Undang Keuangan Negara: maksimal 60 persen dari PDB.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani tak menampik, rasio utang tahun depan bisa membengkak. Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, pemerintah menaksir rasio utang terhadap PDB berada di rentang 43,76-44,28 persen.

Sri Mul menjelaskan, kenaikan itu dampak dari defisit anggaran yang kian melebar. Meski sebenarnya angka itu terus turun. Pada 2020 mencapai 6,1 persen, tahun ini 5,7 persen, dan tahun depan 4,5-4,85 persen dari PDB.

“Atau Rp 807 sampai Rp 881 triliun, dengan pembiayaan sama. Rasio utang akan tetap meningkat dengan defisit yang tadi meningkat,” tuturnya dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (31/5).

Meski naik, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia ini memastikan tetap mengelola fiskal secara sehat. Kebijakan fiskal 2022 masih tetap ekspansif, namun terarah dan terukur. Dia menargetkan, defisit akan kembali ke maksimal 3 persen terhadap PDB pada 2023.

Menanggapi jumlah utang yang makin gemuk ini, Anggota Komisi XI DPR, Hendrawan Supratikno mengaku tak kaget. Kebijakan fiskal yang agresif dalam menghadapi pandemi dan resesi, pasti membutuhkan sumber pendanaan yang besar.

“Dalam jangka pendek, hanya utang yang bisa diandalkan. Jadi, sejak APBN 2020, kita harus bersiap untuk menambah utang minimal seribu triliun per tahun,” ujarnya.

Lagipula, Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, memberi ruang gerak rasio terhadap PDB sampai 60 persen. Ditambah Undang-Undang No 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 memperlebar defisit APBN.

“Kemenkeu masih leluasa menggunakan instrumen fiskal untuk program pemulihan ekonomi,” bebernya.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah mengamini, rasio utang masih aman. Bahkan dia menganalogikan kondisi utang saat ini layaknya pasien yang sedang berkonsultasi dengan dokter.

“Ketika si dokter bilang batas aman kolesterol 200, maka kita tak perlu khawatir ketika hasil berada di angka 150. Batas aman utang pemerintah itu 60 persen terhadap PDB,” jelas Piter, saat dihubungi Rakyat Merdeka, tadi malam.

Toh, kata Piter, utang akan terus meningkat jika penerimaan pajak terus turun. Sementara pemerintah harus terus menyalurkan bansos, menanggulangi pandemi, dan memulihkan ekonomi.

Kata dia, ada dua opsi agar utang tidak naik terus. Pertama, semua warga negara harus patuh membayar pajak. Kedua, pemerintah menghentikan semua bansos, tidak perlu menanggulangi pandemi, dan juga memulihkan ekonomi.

(wte)

Komentar