Mahasiswa Papua Surabaya Gelar Aksi Demo Peringati Satu Tahun Rasisme ‘Monyet’

Jurnalpatrolinews Surabaya , Ratusan mahasiswa asal Papua dari Malang dan Surabaya, Jawa Timur, Selasa (18/8) menggelar aksi memperingati peristiwa rasialisme yang menimpa Mahasiswa Papua di Surabaya setahun lalu.

Aksi tersebut digelar di Taman Apsari, seberang Gedung Negara Grahadi, Surabaya.

Para Mahasiswa Papua membawa poster bertuliskan ‘Memperingati 1 tahun Hari Kera, Kejadian Rasis’, dan ‘Hentikan diskriminasi rasialisme terhadap rakyat papua’.

“Jadi mahasiswa yang tergabung hari ini antara Malang dan Surabaya, untuk memperingati satu tahun rasisme yang terjadi di Surabaya, dan ini diperingati oleh seluruh rakyat Papua,” kata Juru Bicara Aksi, Rudi Wonda.

Rudi mengenang kejadian rasialisme itu bermula saat munculnya dugaan perusakan bendera merah putih yang dibuang ke selokan Asrama Mahasiswa Papua Jalan Kalasan Surabaya oleh orang tidak bertanggung jawab.

Ia menyebut aksi itu adalah upaya provokasi massa untuk merusak Mahasiswa Papua. Kejadian itu lantas direspons oleh aparat gabungan dan ormas reaksioner dengan mengepung asrama mahasiswa Papua, Kalasan Surabaya.

Dikala itu, Sebanyak 43 mahasiswa di Asrama Mahasiswa Papua Jalan Kalasan Surabaya, dikepung, dipersekusi, dimaki dengan ucapan rasisme dan diancam oleh oknum TNI, aparat kepolisian, Satpol PP dan ormas reaksioner, 16 Agustus 2020.

“Intimidasi dan pengepungan itu, terjadi lebih dari 24 jam yang juga disertai dengan ujaran kebencian, pengusiran dan makian berupa ‘monyet’ terhadap 43 mahasiswa Papua,” katanya.

Selama pengepungan berlangsung aparat keamanan menembakkan gas air mata beberapa kali ke dalam asrama. Hingga puncaknya 43 Mahasiswa Papua digelandang ke Mapolrestabes Surabaya.

“Kami diangkut dan ditahan di Polrestabes, namun sama sekali tidak ditemukan bukti maupun pelaku yang merusak bendera merah putih,” kata dia.

Peristiwa itu lantas memicu pecahnya aksi unjuk rasa yang lebih besar di berbagai kota dan kabupaten, di Provinsi Papua dan Papua Barat. Mereka menuntut pelaku rasisme diadili.

Namun, kata dia, yang terjadi justru bukan keadilan bagi orang Papua, melainkan pembungkaman lewat diblokirnya akses internet, dikirimnya pasukan mitier ke Papua, hingga dikriminalisasinya sejumlah aktivis dengan tuduhan makar.

“Kami melihat di dalam negara RI sendiri melambangkan negaranya sebagai negara demokrasi, tapi proses dalam hukumnya tidak sesuai dengan apa yang diagungkan sebagai negara demokrasi,” katanya.

Sementara itu pelaku ujaran rasialisme di Surabaya yang menjadi sumber peristiwa ini, yakni oknum aparatur sipil negara (ASN) Syamsul Arifin dan pimpinan ormas reaksioner Tri Susanti hanya dijatuhi hukuman 5 dan 7 bulan penjara. Sementara oknum TNI yang terlibat, tak jelas proses hukumnya hingga sekarang.

“Menurut kami sangat tidak adil sekali, karena walaupun pelaku sudah divonis tapi ada perbedaan yang lebih mengistimewakan pelaku, yang disebut seperti apa, memakai sistem apertheid,” ucapnya.

Mahasiswa pun mendesak agar pemerintah mengusut tuntas pelanggaran HAM berat di Papua yang terjadi 1961 hingga sekarang. Mahasiswa Papua pun mendesak negara berhenti mengkriminalisasi aktivis dan pengacara HAM pembela Papua, termasuk Veronica Koman.

Juga menuntut pemerintah untuk memberikan keterbukaan informasi dan memberikan akses terhadap jurnalis internasional di tanah Papua.

Mahasiswa Papua juga menuntut pemerintah menghentikan segala bentuk operasi militer yang tengah terjadi di tanah Papua, dan mendesak pemerintah memberikan hak menentukan nasib sendiri bagi Rakyat Papua.  (wekonews)

Komentar