“Ada BUMN asal Tiongkok yang sudah bermain rempah di Indonesia selama 35 tahun melalui jalur yang tidak terekam secara formal. Maka, kita akan memetakan satu persatu, membuat satu ekosistem bisnis yang menjadikan koperasi dan UMKM sebagai tulang punggungnya,” kata Ali.
Ali menyebutkan, strategi dari hulu ke hilir akan disambungkan satu sama lain atau terkoneksi antara para petani di skala mikro dan kecil dengan industri sebagai offtaker di skala menangah dan besar. Koneksi ini akan menumbuhkembangkan ekosistem bisnis rempah sehingga dapat menjamin bahwa bisnis rempah nusantara menjadi bisnis yang sustain dari sisi bahan baku, proses industri, hingga pasar. “Semua terkoneksi, sampai pada akhirnya mengarah ke kata kunci yaitu hilirisasi,” ujar Ali.
Ali mengungkapkan para pelaku usaha dan asosiasi rempah akan menginisiasi agar ke depan Indonesia memiliki lembaga atau badan khusus yang menangani industri rempah nusantara. “Ini untuk mencapai kejayaan rempah nusantara,” ucap Ali.
Potensi 42 Miliar Dolar AS
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Rempah Kejayaan Indonesia (DRKI) Dr Tjokorda Ngurah Agung Kusuma Yudha mengungkapkan hasil survei yang menyebutkan bahwa total perdagangan rempah dunia hampir mencapai 42 miliar dolar AS per tahun.
Namun, kata Tjokorda, 80 persen perdagangan rempah dunia dikuasai oleh China. Padahal, dari sisi produk dan industri rempah, Indonesia jauh lebih banyak. “Mayoritas milik kita, tapi diperdagangkan di Provinsi Yulin, China,” kata Tjokorda.
Oleh karena itu, Tjokorda berharap proses hilirisasi di industri rempah nasional bisa berjalan, seperti yang terjadi di hilirisasi sektor tambang. “Sekarang ini, ekspor rempah kita masih barang mentah, dan itu sendiri-sendiri atau negara terlibat di dalamnya. Pelaku usahanya melakukan jual beli sendiri, dan kita tidak pernah mendapat nilai tambah dari rempah ini,” kata Tjokorda.
Komentar