BMKG: Indonesia Hadapi Titik Kritis Krisis Iklim, Solusi Air Jadi Prioritas

JurnalPatroliNews – Jakarta – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengeluarkan peringatan serius mengenai kondisi iklim Indonesia yang kian memburuk. Ia menyatakan bahwa saat ini Indonesia tengah berada dalam situasi yang sangat genting akibat eskalasi dampak perubahan iklim yang ekstrem, terutama dalam aspek ketersediaan air dan ketahanan pangan.

Pernyataan itu disampaikan Dwikorita dalam gelaran Talkshow Kongres Gerakan Restorasi Sungai Indonesia (GRSI) dan Gerakan Pemanenan Air Hujan Indonesia (GMHI) 2025, pada Rabu, 7 Mei 2025.

Dalam forum tersebut, ia menyoroti bahwa suhu bumi mengalami tren peningkatan yang mencemaskan. Bahkan, menurutnya, tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan suhu global secara instrumental.

Rata-rata suhu global pada 2024 tercatat melonjak hingga 1,55°C dibandingkan dengan masa pra-industri, melampaui ambang batas yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Dwikorita mencatat bahwa suhu tahunan global mencapai 27,52°C, dengan anomali sebesar +0,81°C—tanda nyata bahwa bumi semakin panas.

Kondisi serupa juga melanda Indonesia. Dwikorita mengungkapkan bahwa sebagian besar wilayah di Tanah Air mengalami suhu tinggi yang konsisten melampaui ambang batas normal, yaitu berada di atas persentil ke-95 selama hampir sepanjang tahun.

“Lonjakan suhu ini tidak terbatas pada satu wilayah saja, tetapi terjadi merata, dan berdampak langsung terhadap ketersediaan air tanah dan permukaan,” jelasnya.

Ia memperingatkan bahwa pola iklim yang tidak menentu ini bisa memperburuk frekuensi bencana hidrometeorologi seperti kekeringan dan banjir, yang berimbas luas pada sistem pertanian dan penyediaan air bersih.

Dua Strategi Kunci Hadapi Ancaman Krisis Air

Sebagai bentuk tanggapan atas potensi bencana akibat perubahan iklim, BMKG merekomendasikan dua pendekatan utama: pemulihan kondisi sungai dan pemanfaatan air hujan sebagai sumber cadangan air.

“Diperlukan langkah terencana yang berbasis data ilmiah untuk menanggulangi ancaman ini. Tanpa pengelolaan sumber daya air yang efektif, masyarakat akan semakin rentan terhadap kekurangan air bersih,” tegas Dwikorita.

Ia menjelaskan bahwa pemulihan sungai bertujuan untuk memulihkan ekosistem dan memperbesar kapasitas sungai dalam mengatur aliran air, sedangkan pemanenan air hujan diyakini sebagai solusi jangka panjang untuk menyiasati kelangkaan air saat musim kemarau.

BMKG, lanjutnya, akan terus menyediakan data iklim yang relevan dan akurat untuk mendukung perencanaan strategi ini, termasuk melalui pengembangan Sistem Informasi Hidrologi dan Hidroklimatologi untuk Wilayah Sungai (SIH3).

“SIH3 memberikan informasi strategis mengenai potensi kekeringan, waktu ideal untuk restorasi sungai, dan masa panen air hujan. Sistem ini penting untuk mitigasi risiko dan mendukung ketahanan air nasional,” jelasnya.

Perubahan Iklim Bukan Ancaman Sepele

Dwikorita menekankan bahwa percepatan perubahan iklim saat ini bahkan lebih cepat dibanding proses alami yang pernah menyebabkan kepunahan massal jutaan tahun lalu. Ia menilai situasi ini bukan sekadar fenomena cuaca ekstrem, melainkan pertanda bahwa planet ini sedang menuju ambang krisis ekologis.

“Kita tidak sedang berbicara hanya soal suhu panas, tapi tentang keberlanjutan hidup manusia dan stabilitas ekosistem global. Tanpa kerja sama lintas sektor dan aksi nyata, kita berisiko menghadapi dampak yang sangat merusak,” ujarnya.

BMKG menyerukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk membangun sistem pengelolaan air yang adaptif dan berkelanjutan. Menurutnya, inisiatif seperti GRSI dan GMHI merupakan langkah konkret untuk menjawab tantangan besar ini.

Komentar