“Fakta, prilaku politik masyarakat yang terus mengunggulkan Ganjar Pranowo dibanding Prabowo maupun Anies Baswedan harus diakui bukan produk mekanisme partai dalam mendongkrak elektoral,” ungkap Cepi.
Tapi, lanjutnya, masyarakat melihat, mendengar lewat media mainstream, media sosial tentang apa yang dikerjakan pemimpin. “Kemudian, masyarakat memilihnya, tanpa mau ribet dengan pidato-pidato dan kampanye partai yang menghabiskan dana miliaran,” imbuhnya.
Cepi mengritisi tatanan sistem partai maupun model komunikasi politik partai seharusnya secara cepat berbenah menyesuaikan dengan peradaban baru cyber physical system. Apalagi, khusus partai yang cenderung bermazab model monarki dan semi imperium.
“Jika tidak segera berbenah, tatanan monarki kepartaian akan segera ambruk. Cyber phisical system akan merombak kelak tidak akan ada lagi keturunan bangsawan Parpol, tidak ada lagi raja-raja Parpol yang bisa menguasai negara, terkecuali inskontitusional,” tandas Cepi.
Era saat ini, kata Cepi, sosok pemimpin dicintai rakyat tidak karena citra partai. Tapi, lebih dominan karena faktor figur seperti yang terjadi pada Ganjar Pranowo dan apa yang dikerjakan mampu jadi media darling di medsos. Fenomena ini, lanjut Cepi, diawali dengan gerakan politik arus bawahnya Jokowi. Bahkan, yang menyolok ketika Jokowi maju Pilpres periode dua.
“Karena itu, saya pribadi yang pernah berjuang di belakang Bu Mega saat kepemimpinannya di PDI akan dihabisi rezim Orde lewat tragedi Kudatuli 1996, sangat menyayangkan pidato Bu Mega merendahkan Pak Jokowi di HUT PDI Perjuangan kemarin,” ungkap Cepi soal menyebut gak ada PDIP, Jokowi kasihan.
Cepi mengatakan, dirinya beryakinan ada yang salah apa yang disampaikan pembisik-pembisik Megawati, sehinga Ketum PDIP berkata seolah merendahkan kader satu-satunya PDI Perjuangan yang dalam sejarah PDIP berhasil jadi Presiden RI dua periode periode, sekaligus menjaga marwah besar partai.
Komentar