Catatan Diskusi Publik: Beban Utang Kereta Cepat di APBN

“Kemudian  China menawarkan pinjaman proyek sebesar US$ 5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2% per tahun. Skema Business to Business (B to B) tanpa jaminan dari Pemerintah. Disinilah dilihat inkonsistensi pemerintah, sehingga mau tidak mau dibiayai oleh APBN.” Bebernya.

Pada tanggal 21 Januari 2016 proyek KCJB dimulai dengan dilakukan groundbreaking oleh Presiden di Perkebunan Mandalawangi Maswati, Cikalong Wetan, Bandung Barat, Jawa Barat. Dengan menggunakan sumber pendanaan perusahaan (PSBI) terdiri atas 75% utang dari China Development Bank (CDB) dan 25% ekuitas (modal saham) dengan porsi kepemilikan PT PSBI sebesar 60%.

“Sebelumnya, PT. Wijaya Karya-lah yang memegang konsorsium, kemudian diberikan kepada PT. KAI. Dengan keberadaan PT. KAI yang saat ini memegang konsorsium, APBN ikut serta terlibat membiayai proyek kereta cepat Jakarta–Bandung” imbuhnya.

Perubahan harga, dan lamanya pengerjaan menyebabkan cost overrun. Yang awal mulanya sebesar USD 6,071 miliar atau sekitar Rp. 81,96 triliun pada tahun 2015. Kemudian biaya setelah terjadi Cost Overrun mencapai US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp. 110,5 triliun  pada tahun 2022. Tentunya selisih ini sangat jauh dari awal mulanya.

Lebih lanjut Handi memaparkan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung disini dilihat sebuah skenario, seluruh kewajibannya dilimpahkan pada PT. KAI.

“Padahal kita ketahui pendapatan KAI itu sendiri, dengan keberadaan ini sangat mengancam. Karena diharuskan untuk menyisihkan laba untuk biaya pembangunan kereta cepat ini.” Pungkas Handi.

Komentar