Dengarlah, Dengarlah Duka Natal Dari Nduga

Jurnalpatrolinews – Jayapura : Coretan “Selamat Duka Natal 25 Desember 2020,” terpampang di halaman Asrama Mahasiswa Nduga di kota studi Jayapura. Ratusan mata pasang mata menatap tulisan itu, lalu mereka begerak maju menyalakan lilin Natal.

“Kami ingin cahaya Natal,”ungkap Arim Tabuni satu mahasiswa senior yang hadir dalam acara bersama itu.  Arim salah satu mahasiswa Nduga terlihat kurus, tidak seperti sebelumnya. Badan kekar berisi, jalan tegak lurus. Kini, jalannya pelan. Sedikit bungkuk.

“Saya sakit tetapi datang menyalakan lilin. Kami ingin terus menyalakan cahaya kebenaran dalam hati kami,”ungkapnya pelan, dengan sedikit mengerutkan dahinya.

Dia masih sakit akibat pukulan pasukan keamanan Indonesia, saat membubarkan demonstrasi damai mahasiswa di Kota Jayapura. Peristiwa itu menimpa dirinya 2 Mei 2016 silam.

Di sampingnya, Bheny Murib duduk tertunduk, sesekali menatap tema itu. Ia mengabaikan gilirannya menyalakan lilin. Dia hanya duduk hingga acara itu selesai.

Rupanya, Bheny mengumamkan kisah-kisah pengungsian di Nduga. Dia kehilangan momentum suka cita Natal sejak 2018. Orang tua, adik, kakak meninggalkan rumah ke hutan hingga ke wilayah kabupaten tetangga seperti Lanny Jaya, Puncak, Asmat, Yahukimo dan Jayawijaya.

Ia ingat. rumah, honai, gereja jadi sunyi. Tidak ada kepul asap bakar batu merayakan Natal bersama di halaman gereja. Mahasiswa Nduga dari berbagai kota studi tidak bisa pulang libur seperti sebelumnya.

“Kami ingin merayakan Natal sama-sama orang tua di rumah, tetapi dua tahun ini semua hilang,”ungkap Murib.

Untuk mengingat itulah, mahasiswa Nduga di Jayapura merayakan Natal di halaman asrama.  “Biasanya kan ada Aula besar asrama tetapi hari ini di halaman ini,”.

Kata dia, ketika memandang palungan Natal bayi Yesus terbaring, mengingatkan dirinya akan kelahiran anak-anak di Nduga. Ibu-ibu terpaksa belahirkan di hutan dan gua-gua.

Gelina Lilbid, salah satu nama wanita yang dia ingat bersalin di hutan. Lilbid adalah Isteri dari pamannya. Gelina bersalin dalam perjalanan mengungsi dari Yigi, Nduga, ke Kyawagi, Lanny Jaya dan masuk ke Wamena.

Bheny bertutur kisah Kelahiran anak yang diberi nama Pengungsiana Kelenea itu. Murib mengisahkan ulang sesuai tuturan Ibu Lilbid:

“Saya melahirkan anak di tengah hutan pada 4 Desember 2018,”

“Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal. Ternyata anak saya masih bernafas,”

“Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan lagi, saya merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak.

Kami pikir dia sudah meninggal. Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira dia sudah mati,”

Tetapi saya tetap mengasihi dan membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya dengan baik walaupun di hutan.

Karena saya terus membawa bayi saya, saudara laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon, dan daun yang dipanaskan itu dia tempelkan pada seluruh tubuh bayi saya.

Setelah saudara laki-laki tempelkan daun yang dipanaskan di api itu, bayi saya bernafas dan minum susu. Kami melanjutkan perjalanan.

Kami sangat ketakutan karena TNI terus menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan kami mencari gua yang bisa untuk kami bersembunyi.

Saya gendong anak saya baru tiba dari Kuyawagi, Kabupaten Lanny Jaya di Wamena. Kami berada di Kuyawagi sejak awal bulan Desember 2018.

Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makan makanan yang cukup . Kami sangat susah dan menderita di atas tanah kami sendiri,”tutur Murib menyalin cerita Gelina.

Pengunsiana bersama orang tuanya, kini ada di kabupaten Jayawijaya sejak 2018. Pengunsiana genap dua tahun pada 4 Desember 2020 lalu. Dia mulai merayap, belajar berjalan.

Ada dua anak lainnya yang lahir dalam perjalanan mengungsi. Ada nama Wene Kelenea dan Larinus Kelenea.

Wene adalah kata dalam Bahasa Suku Lani, Yali dan Huwula berarti kisah, berita, masalah, konfrontasi, pertentangan satu dengan yang lainya.

Bila nama itu diurutkan menjadi Wene, Larinus, Pengungsiana. Karena konfrontasi, konflik mereka harus lari mengungsi.

Kata dia, keluarganya ada di pengungsian, anak-anak harus lahir di perjalanan pengungsian. Itu berlalu begitu saja. Semua kelihatan diam, anggap biasa, seolah tidak ada konflik.

“Kapan pemerintah Indonesia, gereja-gereja dan Perserikatan Bangsa-Bangsa bisa memperhatikan hak asasi kami,”ungkapnya.

Kata Dia,kalau tidak bisa menghargai hak asasi manusia, tidak bisa mengurus nasib orang Nduga, semua pihak mesti mengakui jika orang Nduga hendak mengurus dirinya sendiri.

“Hentikan operasi militer wilayah Nduga dan berikan hak kedaulatan bangsa west Papua,”tulis para mahasiswa Nduga, di antara kelip lilin di halaman asrama mereka. (jubi)

Komentar