JurnalPatroliNews – Jakarta – PT Garuda Indonesia Tbk masih menghadapi tantangan finansial besar yang perlu diatasi sebelum layak bergabung dengan superholding BUMN baru, yaitu Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa BPI Danantara seharusnya hanya diisi oleh perusahaan-perusahaan yang sudah stabil secara finansial dan telah menyelesaikan proses restrukturisasi di bawah Kementerian BUMN.
“Saat ini, kondisi keuangan Garuda masih buruk dan memerlukan restrukturisasi besar-besaran,” ujar Wijayanto, Kamis (14/11/2024).
Data laporan keuangan menunjukkan bahwa pada Semester I 2024, Garuda Indonesia mencatatkan kerugian sebesar Rp1,6 triliun. Kondisi keuangan yang belum membaik ini menjadi salah satu alasan utama Garuda Indonesia tidak masuk ke dalam daftar perusahaan superholding.
Di samping itu, Wijayanto juga menekankan pentingnya perencanaan yang matang dalam membentuk superholding ini. Menurutnya, tanpa perancangan yang tepat, keberadaan superholding malah dapat menambah beban bagi negara.
“Pemerintah perlu berhati-hati dalam menyusun cetak biru Danantara. Jika salah desain, bukannya memberikan manfaat, superholding ini malah bisa menjadi beban,” tegas Wijayanto.
BPI Danantara akan bertugas mengelola aset-aset milik sejumlah BUMN dan Lembaga Pengelola Investasi (LPI), dengan tujuh BUMN besar yang direncanakan menjadi anggotanya, yaitu PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, PT PLN, PT Pertamina, PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk, PT Telkom Indonesia Tbk, dan MIND ID.