Ini Kata Sri Mulyani, DPR Ungkit BLBI Soal Tommy Soeharto

JurnalPatroliNews – Jakarta – Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi salah satu pembahasan dalam rapat antara Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran pada hari ini.

Tidak sedikit yang mengapresiasi kinerja Sri Mulyani dan jajaran dalam menyelesaikan penagihan dari obligor dan debitur BLBI. Tapi ada juga beberapa mempertanyakan kejelasan kasus pihak tertentu.

Salah satunya dari Anggota Fraksi Gerindra Kamrussamad. Awalnya dia mengkritik pengumuman penagihan obligor dan debitur oleh salah seorang staf Menteri Keuangan lewat akun Instagram.

“Sistem pengumuman pertama dan kedua sudah bagus, yang ketiga, alangkah baiknya bila tidak perlu disampaikan di IG salah satu staf Ibu Menkeu. Cukup secara resmi lewat koran yang sudah ditunjuk pemerintah,” kata Kamrusammad dalam rapat yang disiarkan di akun Youtube DPR RI, Kamis (2/9/2021)

Dia membutuhkan klarifikasi mengenai kejelasan posisi PT Timor Putra Nasional (PT TPN) yang dimiliki oleh Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dalam skandal BLBI.

“TPN itu tidak pernah menerima dana dari BLBI menurut dokumen yang kami terima. Tapi kenyataannya justru dipanggil sebagai bagian dari obligor, padahal TPN sudah diambil BPPN dan BPPN sudah menjual dan hasil penjualannya sudah diterima oleh negara,” ujarnya.

Sri Mulyani yang hadir dalam rapat tersebut tidak langsung menjawab. Dia menyerahkan kepada Dirjen Kekayaan Negara Rionald Silaban yang merupakan Ketua Harian Satuan Tugas (Satgas) BLBI turut hadir di sana.

“Kami memang kerja sama dengan Kejagung dan pada 8 September 2020 Jaksa Agung kirim surat Kemenkeu dan mengatakan dengan ada putusan peninjauan kembali di Kejagung maka seluruh piutang TPN itu kembali jadi hak pemerintah, sehingga kita harus menagihnya,” jawab Rionald.

BLBI merupakan dana darurat yang disuntik pemerintah kepada Bank Swasta dan BUMN pada akhir tahun 1997 hingga awal 1998. Dana tersebut dibagikan oleh pemerintah ketika penutupan 16 bank pada tahun 1997 memicu serbuan para deposan Indonesia yang takut kehilangan tabungan mereka jika bank yang mereka gunakan ditutup.

Karena ancaman semua bank rentan akan kolaps apabila semua deposan tiba-tiba memutuskan untuk menarik simpanannya, akhirnya pemerintah memberikan bantuan likuiditas. Situasi ini diperparah akibat devaluasi rupiah, meninggalkan bank-bank tersebut tanpa arus kas yang memadai untuk membayar para deposan. Biaya awal BLBI mencapai Rp 144,5 triliun.

Salah satu diantaranya adalah bank milik Tommy Soeharto. Bank Pesona Utama milik Tommy memperoleh dana bantuan likuiditas senilai Rp 2,33 triliun. (*/red)

Komentar