Mahkamah Internasional Setop Penyelidikan Kejahatan Perang Inggris di Irak

JurnalPatroliNews – Den Haag – Kepala jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengumumkan untuk menutup penyelidikan awal atas dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Inggris usai invasi pimpinan Amerika Serikat di Irak. Hal ini berdasarkan tidak adanya bukti soal perlindungan tersangka.

Dilansir AFP, Jumat (11/12/2020), pengumuman Kepala Jaksa ICC Fatou Bensouda muncul setelah penyelidikan “ketat” selama enam tahun terhadap perilaku personel militer Inggris, khususnya atas perlakuan terhadap tahanan Irak dalam penahanan.

Jaksa ICC yang bermarkas di Den Haag, Belanda, mengatakan pada 2017 ada “dasar yang masuk akal” untuk percaya bahwa tentara Inggris memang melakukan kejahatan perang. Namun pada hari Rabu (9/12), dia mengatakan dia tidak dapat menemukan bukti bahwa Inggris telah melindungi tersangka dari penuntutan di hadapan pengadilan Inggris.

“Setelah kehabisan jalur penyelidikan yang wajar yang timbul dari informasi yang tersedia, oleh karena itu saya memutuskan bahwa satu-satunya keputusan yang sesuai secara profesional pada tahap ini adalah menutup pemeriksaan pendahuluan,” kata Bensouda dalam pernyataannya.

Akibatnya, pengadilan tidak akan melanjutkan penyelidikan ICC secara penuh.

Dibentuk pada tahun 2002 sebagai satu-satunya pengadilan independen yang mengadili kejahatan terburuk di dunia, ICC adalah “pengadilan pilihan terakhir”. ICC hanya terlibat jika negara-negara anggotanya tidak mau atau tidak dapat menuntut tersangka.

Pada bulan Juni lalu, seorang penyelidik independen Inggris menyelidiki tuduhan bahwa tentara Inggris melakukan kejahatan perang di Irak antara tahun 2003 dan 2009. Satu dari ribuan pengaduan telah dibatalkan.

Bensouda memang mengkritik tanggapan awal Inggris terhadap tuduhan tersebut sebagai tidak memadai. Namun, hal ini dilemahkan “oleh kurangnya upaya tulus untuk melakukan penyelidikan relevan secara independen atau imparsial”.

Dia mengakui bahwa pihak berwenang Inggris kemudian melakukan upaya untuk menyelidiki pelanggaran dengan benar, tetapi mengeluh bahwa tidak ada satu kasus pun yang dituntut setelah penyelidikan selama satu dekade, yang “merampas keadilan bagi korban”.

ICC juga “mengidentifikasi banyak kekhawatiran sehubungan dengan bagaimana keputusan spesifik tentang hal-hal tertentu dibuat” selama penyelidikan domestik Inggris.

“ICC, bagaimanapun, bukanlah badan hak asasi manusia yang diminta untuk memutuskan apakah dalam proses domestik persyaratan hukum hak asasi manusia atau hukum domestik telah dilanggar,” kata Bensouda.

Namun kelompok HAM, Human Rights Watch menyesalkan keputusan itu. Mereka mengatakan pemerintah Inggris “telah berulang kali menunjukkan sedikit minat dalam menyelidiki dan menuntut kekejaman yang dilakukan di luar negeri oleh pasukan Inggris.”

“Keputusan jaksa penuntut untuk menutup penyelidikannya di Inggris pasti akan memicu persepsi tentang standar ganda yang jelek dalam keadilan: satu pendekatan ke negara-negara yang kuat dan pendekatan lain untuk mereka yang kurang berpengaruh,” kata Clive Baldwin, seorang penasihat hukum senior kelompok HAM itu.

Pengadilan kejahatan perang dunia itu juga terlibat dalam menyelidiki kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan AS dan lainnya di Afghanistan.

Pemerintah Amerika Serikat selalu menolak untuk mengakui otoritas ICC. AS juga menolak langkah untuk melanjutkan penyelidikan awal tahun ini.

Presiden AS Donald Trump kemudian mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni dengan memerintahkan sanksi terhadap Bensouda dan pejabat pengadilan senior lainnya.

(dtk)

Komentar