Masih Seperti di Neraka: Otoritas Malaysia Sengaja Melanggengkan Penyiksaan dan Pelanggaran HAM Terhadap Buruh Migran Indonesia di Depot Tahanan Imigresen Sabah

Fakta tingginya angka kematian tidak menjadi kritik bagi pemerintah Malaysia untuk berbenah

JurnalPatroliNews – Jakarta,- Pasca peluncuran laporan “Seperti di Neraka: Kondisi Pusat Tahanan Imigrasi di Malaysia” pada 24 Juni lalu, Tim Pencari Fakta (TPF) Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) tidak menemukan perbaikan yang berarti. Kondisi buruk dan berbagai bentuk perlakuan tidak manusiawi masih terus terjadi.

Saat melakukan asesmen bersama Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia/Bantuan Hukum Indonesia (PWNI BHI) Kementerian Luar Negeri RI, KRI Tawau, dan BP2MI Nunukan pada tanggal 19-22 Juli 2022, terdapat 239 tahanan yang dideportasi ke Indonesia.

Temuan KBMB juga memperlihatkan kembali kasus kematian dengan meninggalnya (setidaknya) tiga warga negara Indonesia (2 laki-laki dan 1 perempuan) di Depot Tahanan Imigresen (DTI) Tawau, Sabah pada periode Mei-Juni 2022. Peristiwa ini terus menambah jumlah kematian di berbagai pusat tahanan imigrasi di Sabah, Malaysia. Berbagai kematian yang bisa dicegah (preventable death) akan terus terjadi selama tidak ada perbaikan dan hukuman bagi mereka yang bertanggung jawab.

Pada deportasi Juli lalu, KBMB juga masih menemukan banyak deportan yang datang dengan kondisi sakit. Setidaknya lima deportan tiba dengan menggunakan kursi roda.

Ada tujuh deportan yang kemudian harus dirujuk ke rumah sakit di Nunukan. Kondisi perempuan deportan juga sangat memprihatinkan. Terjadi pelanggaran hak atas kesehatan reproduksi perempuan yang memprihatinkan bahkan DTI Tawau tidak menyediakan satupun pembalut, sehingga perempuan deportan harus menggunakan kain-kain yang dirobek sebagai gantinya. Terlebih bagi deportan yang sedang hamil, hak maternitas mereka diabaikan hingga menyebabkan keguguran. Kondisi kesehatan para deportan juga dipertaruhkan karena makanan yang disediakan masih mentah atau sudah basi. Tentu hal ini merupakan nyata-nyata pelanggaran hak atas pangan sebagai hak dasar manusia.

Kondisi buruk yang dialami deportan dan tingginya angka kematian disebabkan oleh tidak adanya fasilitas kesehatan di DTI, sanitasi yang terbatas dan tidak sehat, makanan tidak layak, kekerasan fisik, dan tidak adanya pemisahan antara tahanan anak dan dewasa. Dalam kesempatan wawancara dengan seorang deportan perempuan, Ibu satu anak berusia 39 tahun mengungkap “Mati saya, Mbak, mati saya” saat mengingat peristiwa yang mendatangkan trauma mendalam karena ditendang oleh petugas DTI Tawau di hadapan anaknya.

Seluruh kekejaman tersebut masih berlangsung tanpa koreksi. Sesungguhnya tidak ada manusia yang ilegal, karena ketiadaan dokumen bukan berarti deportan layak diperlakukan tidak manusiawi.

Lebih lanjut, diketahui bahwa beberapa deportan menyatakan mereka akan kembali ke Sabah karena tuntutan ekonomi dan terdapat anggota keluarganya yang masih tertinggal di Sabah.

Sedangkan deportan yang lain mengungkap bahwa mereka enggan kembali karena trauma.

Komentar