JurnalPatroliNews – Jakarta,- Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021 menegaskan bahwa manusia adalah penyebab signifikan pemanasan global. Menyikapi hal ini, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri, dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah adalah penerapan mekanisme kredit karbon atau carbon credit. Namun, apa sebenarnya carbon credit, bagaimana cara menghitungnya, dan apa hubungannya dengan perdagangan karbon (carbon trading)? Berikut penjelasannya.
Definisi dan Mekanisme Carbon Credit
Carbon credit adalah izin yang dapat diperdagangkan, memungkinkan perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah gas rumah kaca atau karbondioksida yang setara. Secara sederhana, carbon credit memberikan “hak” bagi perusahaan untuk mengeluarkan emisi karbon dalam jumlah tertentu selama proses industri. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi satu ton karbondioksida.
Tujuan utama dari kredit karbon ini adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan industri. Kredit karbon ini kemudian diperdagangkan dalam skema perdagangan karbon atau carbon trading, di mana perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dapat melakukan offset karbon dengan membeli carbon credit di pasar sukarela.
Cara Menghitung Carbon Credit
Perhitungan carbon credit yang diakui secara internasional saat ini menggunakan skema Reduksi Emisi akibat Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus (REDD+). REDD+ adalah inisiatif yang dirancang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan, serta mendorong konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan cadangan karbon di negara-negara berkembang.
Sebelum tindakan lingkungan diambil, perhitungan kredit karbon harus dilakukan melalui proses pengukuran, verifikasi, dan tindakan (MRV). Sistem MRV dirancang untuk mendokumentasikan, melaporkan, dan membuktikan perubahan karbon secara konsisten, lengkap, transparan, dan akurat sehingga dapat diterima di tingkat internasional.
Harga kredit karbon di pasar internasional dapat bervariasi, biasanya berkisar antara $5 hingga $50 per ton CO2, tergantung pada berbagai faktor seperti kualitas proyek, standar sertifikasi, permintaan pasar, dan kondisi ekonomi global.
Hubungan Carbon Credit dengan Carbon Trading
Carbon credit dan carbon trading memiliki hubungan yang erat. Carbon trading adalah aktivitas jual beli carbon credit, di mana pembeli biasanya adalah perusahaan yang menghasilkan emisi karbon melebihi batas yang telah ditetapkan.
Pemerintah dan otoritas terkait dapat menetapkan batas emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh perusahaan sebagai bagian dari carbon trading. Jika perusahaan menghasilkan emisi lebih rendah dari kredit yang dimilikinya, mereka dapat menjual kredit tersebut di pasar karbon. Namun, jika emisi yang dihasilkan melebihi kredit yang dimiliki, perusahaan diwajibkan membayar denda atau membeli kredit tambahan di pasar karbon.
Peraturan Pajak Karbon di Indonesia
Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai pajak penjualan karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021. Dalam undang-undang ini, diperkenalkan pajak karbon yang mulai berlaku pada 1 April 2022.
Penerapan pajak karbon ini mengalami penundaan, yang merupakan penundaan kesekian kali setelah pada akhir 2021 pemerintah berencana mengimplementasikan pajak karbon sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan. Penundaan ini dikarenakan pemerintah menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon.
Kedepannya nanti, Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan mencatat bahwa tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Tarif ini jauh lebih kecil dibandingkan usulan awal sebesar Rp75, menjadikan Indonesia termasuk negara dengan tarif terendah di dunia untuk urusan pajak karbon.
(Berbagai Sumber)
Komentar