Memetakan Persoalan Intoleransi Dan Radikalisme Di Jawa Barat 

Perwakilan PGWI Jabar, Pdt. Paulus menilai persoalan radikalisme ini tidak sederhana karena sehari-hari menyaksikan seolah baik-baik saja tetapi sebetulnya seperti api dalam sekam.

“Orang yang tampak santun dan agamis ternyata adalah pelaku kekerasan, korupsi, dan kejahatan lainnya, seperti ada terpecahnya kepribadian bangsa,” ucapnya.

Selain itu, kata dia, kurang tegas dan berfungsinya penegakan hukum di Indonesia yang masih tebang pilih. “Ada kecenderungan agama bisa menjadi sesuatu yang mengadiksi,” imbuhnya.

Mohammad, perwakilan dari GP Ansor Kota Bandung menyampaikan, Pemuda Ansor sedang fokus pada pendidikan moderasi beragama.

Ia menyebut salah satu alasan radikalisme tumbuh subur di Jabar terutama di kota Bandung karena ada bentuk ‘pemeliharaan’ oleh para elit politik.

“Dengan adanya identitas politik menjadi hal yang paling ‘murah’ untuk bisa dijual dalam ajang perpolitikan salah satunya dengan intoleransi,” terangnya. “Jadi perlu juga menilik persoalan radikalisme dari para elit politik,” sambung Mohammad.

Ia mengingatkan, Kota Bandung punya banyak catatan kelam dalam hal intoleransi. Parisada Hindu Dharma Jabar, Yeni Ernita Kusumawardani merujuk pidato Bung Karno bawa persoalan lebih sulit melawan bangsa sendiri.

“Hari-hari jni demikianlah yang terjadi,” ucap Yeni. Ia mengatakan, banyak persoalan sederhana yang dapat ditilik menjadi salah satu penyebab paham radikal mudah mengakar di masyarakat Indonesia.

“Contoh dari persoalan tidak mengenal lagu kebangsaan dengan baik, kurangnya kebanggaan dan kecintaan terhadap negara dan bangsa Indonesia,” urai Yeni.

Kurangnya akses keadilan di masyarakat yang kemudian mudah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal menjadi sorotan perwakilan dari ITB, Epin Saepudin.

Komentar