Prihatin…! Kota Pahlawan Surabaya yang Rakyatnya Belum Merdeka dari Surat Ijo

JurnalPatroliNews – Secara historis sejarah telah mencatat apa yang dilakukan arek-arek surabaya pada 10 November 1945 telah menjadikan tonggak sejarah pengusiran penjajah Belanda dari bumi Indonesia yang telah merdeka.  Para perjuang bahu-membahu melawan arogansi negara agressor dan pada akhirnya Belanda harus meninggalkan negara merdeka Indonesia karena kalah perang.  Angkat kakinya penjajah tentu meninggalkan harta penjajah berupa rumah dan tanah untuk karyawan di zaman Belanda ditinggal saja dan akan diatur pada tahun 1960 dengan terbitnya produk hukum tanah nasional yakni Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dimana secara tegas menghapus hukum kolonial yang menindas. 

Nasib peninggalan belanda harusnya dikonversi dan sesuai semangat UUPA untuk mensejahterakan rakyat, dengan menggunakan mekanisme landreform tentu bisa diberikan kepada rakyat penggarap sebagai perwujudan sosialisme Indonesia. Namun pemerintah kota Surabaya telah mengklaim tanah peninggalan penjajah itu adalah miliknya sehingga di sertipikatkan oleh pemkot Surabaya menjadi Hak Pengelolaan (HPL) dan bagi pengguna HPL harus membayar sewa.  Bagi pembayar sewa  dikeluarkan Surat  Izin Pemakaian tanah dengan berjangka oleh Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Pemkot Surabaya atau biasanya disebut surat ijo. Inilah menjadi pangkal kekisruhan,  Jika hari ini masalah adalah antara pemkot dengan rakyat yang menggarap peninggalan perang tersebut.

Pemkot Surabaya memiliki HPL

Ini harus dikritisi darimana pemkot surabaya memperoleh HPL? Tentu selain jawaban pemkot surabaya juga termasuk pihak Kementerian ATR/BPN yang menerbitkan HPL tersebut dapat memberikan penjelasan.  Jika pemkot surabaya tidak bisa menjelaskan asal-usul perolehan tanah asetnya maka pemkot surabaya telah menggunkana azas domein verklaring yang sudah dicabut UUPA.  Azas penjajah yang diusir arek-arek surabaya telah digunakan pemkot surabaya mengklaim tanah-tanah yang tidak jelas statusnya menjadi aset pemkot surabaya dan celakanya diaminkan juga oleh pihak Kementerian ATR/BPN yang menerbitkan HPL.  Dengan HPL inilah pemkot menyewakan tanah untuk PAD, tentu tidak jauh dari mental pemerintah jajahan.  Arek – arek surabaya telah berhasil mengusir penjajah belanda, namun hari ini warganya masih belum juga merdeka dari tanah garapannya sendiri.  Perjuangan tak kenal lelah belum juga menghadirkan merdeka 100%, meski memiliki walikota super baik sekelas Risma tidak otomatis masalah kisruh surat ijo selesai bahkan akan dilanjutkan diwariskan kepada pemerintahan berikutnya.

Cukup sudah rakyat surabaya khususnya yang berjuang untuk hak tanahnya di atas klaim pemkot surabaya agar tidak kembali terjebak retorika janji manis calon pemimpin daerah.  Di masa pemerintahan jokowi jilid kedua ini segala persoalan surat ijo harus diselesaikan dengan berpedoman kepada UUPA. Output kebijakan tersebut adalah rakyatpenggarap memperoleh kepastian hukum berupa sertipikat dari negara dan outcome dihasilkan adalah kenyamanan rakyat penggarap di atas tanah surat ijo merasakan hadirnya negara yang memerdekakan mereka secara 100% di atas tanah airnya sendiri.  Pemkot surabaya menjadi pemrintah pelayan rakyat bukan reinkarnasi pemerintah kolonial jajahan belanda dengan menarik sewa bagi rakyatnya sendiri di atas aset tanah yang diusir pejuang surabaya dengan darah dan air mata .

Kita tidak sedang berbicara membeli tanah dari hasil perjuangan pengusir penjajah sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya, kita sedang membicarakan landreform dan jika logika yang sama, bagaimana itu pangkalan militer belanda dan gedung-gedung pemerintahan apa dikenakan surat ijo? Tentu tidak dan ada standart ganda dari pemkot surabaya.  Pemerintah pusat harus hadir jangan tutup mata terhadap praktek tak lazim di atas.

Jika tidak selesai juga maka perlu mendorong pemerintah pusat dalam hal ini Menteri ATR/BPN dan Menteri Keuangan melakukan landreform perkotaan surabaya dengan dukungan politik presiden tentu bisa selesai.

Secara historis, kita tahu adapun hukum yang mengaturnya hanya berupa Perda, yakni:

  1. Perda nomor 1 tahun 1997 tentang Ijin Pemakaian Tanah.
  2. Perda nomor 23 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
  3. SK Walikota Surabaya nomor 1 tahun 1998 tentang Tata Cara Penyelesaian Ijin Pemakaian Tanah.
  4. SK Walikota Surabaya nomor 21 tahun 2002 tentang Pemutihan Ijin Pemakaian Tanah di kota Surabaya.
  5. SK Walikota Surabaya nomor 27 tahun 1995 tentang Tata Cara Mendapatkan HGB diatas HPL (Hak Pengelolaan Lahan) Pemerintah Daerah tingkat II Surabaya.

Untuk memperoleh hak penggunaan lahan, kita harus memiliki Izin Penggunaan Tanah (IPT).

Izin ini terbagi menjadi 3 jenis, yakni:

  1. IPT jangka panjang, berlaku selama 20 tahun
  2. IPT jangka menengah, berlaku selama 5 tahun
  3. IPK jangka pendek, berlaku selama 2 tahun

Akan tetapi sekali lagi kita tidak membahas hal tersebut yang dianggap penulis jauh bertentangan dengan UUPA.  Semoga momentum ulang tahun hari agraria ke 60 bisa mengetuk hati para pemimpin bangsa bersama-sama rakyat mendorong pemkot surabaya dan kantor pertanahan kota surabaya 1 dan 2 mampu memastikan hak rakyat guna sebesar-besar kemakmuran rakyat.  Jangan sampai slogan itu adalah janji omong kosong politisi, jika tidak sanggup merealisasikan biar orang lain yang memimpin kota surabaya dan dan Kantor Pertanahan Kota Surabaya 1 dan 2, silahkan presiden memperhatikan dan rakyat memilih pemimpin yang mampu untuk itu.

“Tanah untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat “

Manaek Hutabarat, Aktivis 98

Komentar