JurnalPatroliNews – Jakarta – Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping dipastikan tidak akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang digelar di Brasil, Minggu (5/7/2025). Ketidakhadiran dua tokoh utama tersebut memicu diskusi tentang arah dan nilai ideologis kelompok negara-negara berkembang tersebut, terutama setelah ekspansi keanggotaan BRICS dalam dua tahun terakhir.
Dilansir The Guardian, absennya Xi Jinping dari pertemuan tahun ini menciptakan tanda tanya besar. Padahal, Xi tercatat hampir selalu hadir dalam pertemuan BRICS selama lebih dari satu dekade terakhir. Sebagai pengganti, Tiongkok mengutus Perdana Menteri Li Qiang untuk hadir di forum tersebut. Hingga kini, Beijing belum memberikan alasan resmi atas ketidakhadiran sang presiden.
Sementara itu, absennya Vladimir Putin dikaitkan dengan status hukumnya di dunia internasional. Ia saat ini menjadi subjek surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas dugaan keterlibatannya dalam penculikan anak-anak Ukraina selama invasi. Meski Brasil adalah anggota penandatangan Statuta Roma, pemerintah setempat belum secara tegas menyatakan akan menahan Putin jika hadir. Namun, untuk menghindari risiko diplomatik, Presiden Rusia tersebut memilih tidak datang ke Rio de Janeiro.
Putin juga sempat melewatkan pertemuan BRICS di Afrika Selatan tahun lalu, dengan alasan serupa. Kala itu, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyebut tidak bisa menjamin imunisasi diplomatik terhadap Putin apabila ia datang secara fisik.
BRICS Semakin Melebar, Tapi Kehilangan Fokus?
Awalnya digagas sebagai blok kekuatan baru dari negara-negara berkembang, BRICS terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Namun, sejak tahun lalu, organisasi ini berkembang pesat dengan bergabungnya sejumlah negara baru seperti Indonesia, Iran, Ethiopia, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Ekspansi ini membawa BRICS menjelma menjadi forum yang jauh lebih besar dan beragam dalam konteks ekonomi, politik, dan sistem pemerintahan.
Beberapa pengamat menilai bahwa perluasan ini berpotensi melemahkan konsistensi ideologis BRICS. Dominasi negara-negara dengan sistem pemerintahan otoriter di antara anggota baru disebut menimbulkan kegelisahan di kalangan negara seperti India, Brasil, dan Afrika Selatan yang menganut sistem demokrasi.
Kehadiran berbagai negara dengan latar belakang ekonomi dan geopolitik berbeda-beda pun menimbulkan pertanyaan: apakah BRICS masih bisa menjaga kesatuan visi dalam membentuk tatanan global baru?
Brasil: Dunia Kini Bergerak Menuju Multi-Kutub
Menurut Duta Besar Brasil untuk Inggris yang juga mantan Menteri Luar Negeri, Antonio Patriota, BRICS saat ini hanyalah satu dari banyak indikator bahwa dunia tengah bergerak menuju tatanan global multipolar, di mana tidak ada lagi satu negara yang dominan seperti sebelumnya.
Berbicara dalam forum di Overseas Development Institute, Patriota menyoroti kebijakan luar negeri Amerika Serikat di era Donald Trump sebagai pemicu utama perubahan arah geopolitik global.
“Langkah AS dalam memberlakukan tarif tinggi dan mengedepankan kedaulatan nasional justru mempercepat perubahan menuju dunia multipolar,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa Eropa pun kini mulai mengambil jarak terhadap sejumlah kebijakan AS, baik dalam hal perdagangan, pertahanan, hingga demokrasi. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa poros kekuatan dunia kini mulai terpecah dan tidak lagi terkonsentrasi di satu kutub Barat saja.
Komentar