Respon Cepat Pidato Presiden, Tjahjo Kumolo : Perampingan Eselon Ciptakan Efektivitas dan Efisiensi Birokrasi

JurnalPatroliNews-Jakarta,– Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai posisi eselon I, II, III, dan IV di kementerian/lembaga (K/L), bahkan pemerintah daerah (pemda) terlalu banyak. Jokowi meminta agar dilakukan perampingan eselon. Jokowi menyampaikan itu dalam pidatonya usai dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2019.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Tjahjo Kumolo merespons cepat keinginan tersebut. Dia mengungkap hingga akhir Juni 2020, progresnya sudah mencapai 60 persen, khususnya di tingkat K/L. Menurutnya penyederhanaan eselon ditargetkan rampung pada Desember 2020.

“Perampingan eselon sampai akhir Juni 2020, sudah 60 persen. Sekarang tinggal di beberapa K/L dan pemda, tapi target kami, ini yang dipegang langsung Bapak Wapres (Wakil Presiden, Ma’ruf Amin), Desember 2020 bisa selesai, tuntas 100 persen,” kata Tjahjo saat berbincang dengan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan Aditya L Djono, di Kantor Kementerian PAN dan RB, Jakarta, belum lama ini.

Dia menuturkan perampingan eselon memang menjadi keniscayaan dalam rangka meningkatkan produktivitas aparatur sipil negara (ASN). “Efektivitas dan efisiensi birokrasi itu pasti terjadi dengan adanya perampingan eselon. Mungkin bisa sampai di atas Rp 20 triliun,” ujar mantan Menteri Dalam Negeri ini.

Dia menyatakan reformasi birokrasi yang dijalankan tidak hanya sekadar pergantian jabatan dari struktural ke fungsional. Menurutnya, Presiden Jokowi juga menekankan pentingnya membangun pola pikir ASN yang mempercepat pelayanan publik. Sebab seluruh ASN mulai K/L sampai pemda, desa/kelurahan bertugas melayani langsung masyarakat.

Mantan sekretaris jenderal Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) tersebut menegaskan kecepatan pelayanan publik menjadi salah satu kunci suksesnya pembangunan. “Bapak Presiden berkali-kali ingatkan pentingnya kecepatan. Ke depan diharapkan tidak ada lagi birokrasi yang berbelit-belit. Kalau ASN kerja masih pakai pola lama, ya repot,” tegasnya.

Dia mengungkap saat ini total pegawai negeri sipil (PNS) per Juni 2019, sebanyak 4,2 juta personel. ASN di tingkat pusat hanya 22,6 persen, sedangkan 77,4 persen lainnya merupakan pegawai daerah. Dia menambahkan dari jumlah itu, hanya 11 persen PNS yang menduduki jabatan struktural. Kemudian tenaga teknis kesehatan sebanyak 15 persen, guru 35 persen dan sisanya pelaksana administrasi 39 persen. “Sekarang ini ada 4,2 juta ASN, tapi yang tenaga administrasi sekitar 1,6 juta personel,” ungkapnya.

Merujuk hal tersebut, menurutnya, rekrutmen calon PNS (CPNS) akan disesuaikan dengan kompetensi. “Penerimaan pegawai sesuai kebutuhan. Jadi tidak harus setiap tahun anggap yang pensiun 10 orang ototmatis harus diganti 10 orang. Bisa diganti satu atau dua, bisa tidak sama sekali. Kalau sekarang yang dibutuhkan dokter ya dokter, guru ya guru, termasuk bidan dan perawat,” katanya.

Dia menambahkan pemerintah pun berencana memberikan insentif untuk ASN. “Di pegawai negeri kita ingin bikin insentif. Kalau semakin banyak bekerja, lebih produktif, ya lebih banyak mendapat insentif. Sekarang ini di samping gaji pokok, ada gaji ke-13, ke-14, ada tunkin. Nanti ada plus plus lagi. Itu sudah dipikirkan Ibu Menteri Keuangan dan Menteri Bappenas,” imbuhnya.

Secara terpisah, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menegaskan pihaknya sangat mendukung perampingan eselon. Menurutnya, pihaknya terus memantau sekaligus melakukan pengawasan prosesnya. “Setiap rapat dengan Kementerian PAN dan RB, kami selalu tanyakan progres. Selalu kami evaluasi,” kata Doli.

Dia menyatakan sesuai pembahasan dan evaluasi yang dilakukan selama ini, tidak ada kendala berarti terkait perampingan eselon tersebut. Menurut wakil ketua umum Partai Golkar ini, pemerintah membuat sistem yang cukup baik. Dampak negatif yang kemungkinan muncul akibat kebijakan itu, lanjutnya, sudah diantisipasi oleh pemerintah.

Penataan Lembaga

Tjahjo menyatakan secara prinsip pelaksanaan pembubaran atau penataan lembaga merupakan salah satu bagian dari komitmen pemerintah dalam pelaksanaan agenda reformasi birokrasi. Tujuan penataan lembaga yaitu untuk menghindari terjadinya tumpang tindih tugas dan fungsi di lingkungan instansi pemerintah. Sebab tumpang tindih itu mengakibatkan pemborosan kewenangan dan anggaran.

“Melalui penataan lembaga, maka diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah, serta meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara. Selama kurun waktu 2014-2017, Bapak Presiden pernah melakukan pengintegrasian 23 Lembaga Nonstruktural (LNS) kepada K/L yang bersesuaian,” kata Tjahjo.

Menurutnya, saat ini Kementerian PAN dan RB melakukan inventarisasi dan analisis terhadap efektivitas LNS. Hasil analisis tersebut akan menjadi rekomendasi dan disampaikan kepada Presiden untuk mendapat arahan lebih lanjut. “Tahap pertama ada 18-19 LNS yang diintegrasi. Sasarannya menghindari tumpang tindih,” tegasnya.

Dia pun menyebut, “Kayak Badan Restorasi Gambut, lebih baik dikembalikan ke kementerian mana, termasuk Komisi Nasional Lanjut Usia. Di Kemdagri (Kementerian Dalam Negeri) ada BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan). Pembangunan perbatasan sudah selesai. Sekarang yang mengawasi siapa? Tinggal pemda setempat, buat apa ada badan.”

Dia menyatakan rekomendasi penataan tidak hanya berfokus pada LNS yang dibentuk dengan peraturan presiden (perpres) dan keputusan presiden (keppres), tetapi juga peraturan pemerintah (PP). Sementara untuk LNS yang ditetapkan dengan undang-undang (UU) dapat direkomendasikan, namun pengintegrasiannya memerlukan proses revisi UU.

“Penataan LNS yang dibentuk berdasarkan perpres, keppres, dan PP akan jadi prioritas, karena masih berada dalam kewenangan Bapak Presiden atau pemerintah. Kalau LNS yang dibentuk UU, kan enggak bisa langsung, harus dengan DPR, tapi kami tetap inventarisir. Kami koordinasikan dengan K/L, lalu disusun usulan revisi UU-nya,” ujarnya. (lk/*)

Komentar