Selayaknya Dipahami, FKUB Ungkap 3 Hal Ini Jadi Alasan Adanya Penolakan Gereja Di Cilegon

JurnalPatroliNews – Jakarta – Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) mengungkapkan ada 3 hal yang menjadi alasan adanya penolakan gereja di Cilegon, Banten.

FKUB menyebut ada keterkaitan sejarah dan surat keputusan Bupati Serang Tahun 1975.

“Kalau dasar penolakan masyarakat tentu bisa ditanyakan kepada masyarakat. Artinya seperti apa masyarakat melakukan itu menurut saya jangan dilihat dari penolakannya dulu, nanti kan terkesan bahwa masyarakat Cilegon itu intoleran. Tapi harus dilihat bahwa sebenarnya ada sisi yang harus dijelaskan kepada semua,” kata Sekretaris FKUB Cilegon, Agus Surahmat, Minggu (11/9/2022).

Agus mengatakan, ada 3 hal yang selayaknya dipahami mengapa penolakan pembangunan gereja HKBP Maranatha Cilegon mendapat penolakan dari beberapa kelompok masyarakat.

Pertama, kata Agus, peristiwa Geger Cilegon 1888 menjadi kajian bersama semua pihak.

Peristiwa Geger Cilegon, lanjutnya, salah satunya dipicu karena pelarangan azan oleh pemerintah kolonial Belanda saat menjajah Indonesia.

“Tentu kita juga melihat sisi historisnya masyarakat, ada 3 ya. Pertama, historis itu kurang lebih tahun 1988 (1888) dikenal dengan Geger Cilegon yang mendasari terjadinya Geger Cilegon itu adalah karena adanya pelarangan azan kemudian pengambilan paksa atau upeti terhadap masyarakat kemudian terjadinya penggusuran terhadap masyarakat atau pribumi yang notabene hampir 100 persen adalah muslim, pada akhirnya terjadilah pergolakan, waktu itu jihad lah ya yang dipimpin oleh Kiai Wasyid,” ujarnya.

Peristiwa ini kemudian memunculkan amarah alim-ulama dan masyarakat Cilegon sehingga memunculkan peristiwa pemberontakan pribumi terhadap penjajah.

Pascapemberontakan yang terjadi pada 1888 itu, banyak ulama yang diasingkan ke berbagai daerah di Indonesia hingga dibunuh.

“Yang menjadi persoalan adalah pada akhirnya banyak ulama-ulama yang digantung, makanya ada daerah Pegantungan, kisah itu menjadi turun temurun sampai sekarang dan masyarakat memahami bahwa mereka orang Belanda yang menggantung itu adalah nonmuslim,” katanya.

Tak lepas dari nilai historis, munculnya penolakan terhadap pembangunan gereja di Cilegon juga didasari adanya bedol desa pada saat pembangunan pabrik Krakatau Steel tahun 1974-1978.

Pembangunan pabrik baja terbesar di Asia Tenggara saat itu memunculkan perjanjian antara ulama, tokoh masyarakat dengan pihak berwenang yang kemudian memunculkan klausul tak ada tempat ibadah agama lain selain Islam di Cilegon.

“Kemudian yang kedua kurang lebih tahun 1974-1978 ada yang namanya projects Trikora, projects pembangunan baja Krakatau Steel pada saat itu kepemimpinan Presiden Soekarno. Nah ada kesepakatan antara para alim ulama khususnya pesantren Al-Khairiyah waktu itu dan juga tokoh-tokoh masyarakat bersedia untuk direnovasi atau sekarang lebih tepatnya bedol desa dengan catatan tidak ada tempat ibadah lain,” tuturnya.

Alasan ketiga adanya penolakan diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Serang Tahun 1975 yang saat itu dijabat Ronggowaluyo. Cilegon pada tahun itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Serang.

“Ketiga kurang lebih tahun 1975 telatnya tanggal 20 Desember 1975 ada surat keputusan dari Bupati Ronggowaluyo atas desakan masyarakat Cilegon kemudian menerbitkan SK penutupan waktu itu gereja Katolik. Nah itu menjadi dasar,” katanya.

Komentar