UU Perlindungan Pekerja Migran: Fondasi Regulasi yang Lebih Relevan
Alih-alih dipaksakan melalui UU Pelayaran, pengaturan penempatan pelaut Indonesia di kapal asing seharusnya bernaung di bawah UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. UU ini secara tegas mengkategorikan pelaut sebagai bagian dari pekerja migran, dan memiliki perangkat perlindungan yang lebih komprehensif.
Negara seperti Filipina telah lama menjadikan pelaut sebagai bagian integral dari pekerja migran nasional. Hasilnya, sistem penempatan dan pengawasannya lebih terpadu, transparan, dan berpihak kepada pelaut. Ini membuktikan bahwa pendekatan melalui UU Pekerja Migran adalah strategi yang lebih progresif dan selaras dengan praktik internasional.
Bahkan, rancangan revisi UU No. 18 Tahun 2017 telah mulai memasukkan MLC 2006 sebagai dasar normatif, menunjukkan komitmen kuat terhadap penerapan standar internasional dalam perlindungan buruh laut.
Penutup: Perlu Revisi Arah dan Dasar Hukum SIUKAK
Menggunakan UU No. 66 Tahun 2024 sebagai basis hukum SIUKAK adalah keputusan yang riskan. Selain menyisakan celah dalam perlindungan pelaut yang ditempatkan di kapal asing, pendekatan ini juga bertentangan dengan prinsip legalitas administrasi yang fundamental.
Solusi idealnya adalah memindahkan seluruh pengaturan terkait penempatan awak kapal Indonesia di kapal asing ke dalam rezim hukum pekerja migran, yakni UU No. 18 Tahun 2017. Di saat yang sama, adopsi eksplisit terhadap MLC 2006 sebagai acuan normatif mutlak diperlukan agar Indonesia tak tertinggal dalam konstelasi perlindungan maritim global.
Tanpa pembenahan ini, SIUKAK bisa menjadi regulasi yang menyulitkan, bukan melindungi—sebuah paradoks kebijakan yang mengancam masa depan para pelaut kita, yang telah menjadi ujung tombak devisa nasional di kancah internasional.
Komentar