Threshold Dalam Pemilu Di Indonesia Melanggar Kedaulatan Rakyat

Berangkat dari pengalaman dibanyak negara demokrasi, agar Pemilu dapat dilaksanakan dengan biaya murah dan tidak muncul potensi pengulangan Pemilu lebih dari satu kali, serta untuk menghindari munculnya kerawanan sosial akibat banyaknya jumlah peserta Pemilu, maka mutlak diperlukan aturan main untuk menyaring jumlah Partai Calon Peserta Pemilu. Untuk maksud tersebut, bisa ditempuh dengan memperberat persyaratan administrasi bagi Partai untuk bisa ikut menjadi Peserta Pemilu, salah satunya dengan memperbesar jumlah prosentase keberadaan kepengurusan di semua tingkatan pemerintahan, mulai dari Provinsi, Kabutapaten/Kota Madya, Kecamapatan dan Desa.

Dengan kata lain, kedepan dalam memfilter agar jumlah Partai peserta Pemilu menjadi terbatas, tidak lagi dilakukan dengan cara  malanggar Hak Primer Warga Negara yaitu hak-hak warga negara yang diatur langsung dalam UUD. Disanalah urgensi pentingnya Pembuat Undang-Undang dan para Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memahami prinsip dasar dalam berdemokrasi, dimana “Hak Primer” Warga Negara tidak boleh direduksi, dikalahan dan apalagi dinegasikan oleh “Hak Sekunder”, yaitu  hak  yang lahir karena Undang-Undang.  Disamping itu, mereka juga perlu memahami hakikat dari makna, tujuan, kontekstual dan juga logika politik serta filsafat norma Parlementary dan Presidential Threshold. Sehingga kedepan tidak terjadi lagi pelanggaran kedaulatan rakyat, tapi sah menurut hukum karena diatur dalam Undang-Undang.

Janji Tuhan niscaya terbukti. Sikap dan kesadaran untuk mengganti model penyaringan jumlah Calon Peserta Pemilu dari semula dengan menggunakan norma Threshold menjadi dengan persyaratan administrasi bagi Partai untuk bisa menjadi peserta Pemilu, pada hakikatnya adalah laku hijrah dari Sodom dan Gomora untuk era kekinian. Dengan kesadaran dan keberanian untuk hijrah termaksud, maka kedepan bangsa ini niscaya akan terbebas dari azab sebagaimana yang dijanjikan dalam Firman-Firman Nya.

Komentar