25 Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil: Langkah Reformasi atau Abuse of Power?

JurnalPatroliNews – Jakarta – Wacana revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia kini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan mantan pejabat negara. Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, Guru Besar Universitas Nasional sekaligus mantan Menteri PAN-RB dan Duta Besar RI, menyatakan bahwa rencana revisi tersebut bukan hanya tak urgen, tetapi berpotensi merusak semangat reformasi 1998.

Dalam wawancaranya dengan Forum Keadilan TV, dikanal Youtube https://www.youtube.com/watch?v=fhCIl0q7mig, dengan judul “Niat Jahat RUU Polri Melegalkan Penyimpangan Kepolisian Republik Indonesia”, Yuddy mengungkapkan keyakinannya bahwa revisi UU Polri bukan merupakan kehendak Presiden Prabowo Subianto. Ia bahkan mencurigai bahwa Presiden hanya “disodori sistem” yang telah berjalan dan bisa jadi “dijebak” untuk melegalkan pelanggaran terhadap UU yang selama ini terjadi dalam tubuh Polri.

“Saya yakin 100 persen, ini bukan kemauan Presiden. Bisa jadi Presiden hanya percaya pada sistem, tanpa tahu bahwa sistemnya telah menyimpang,” ujar Yuddy.

Ia menyoroti adanya dugaan bahwa revisi ini bertujuan untuk melegalkan penyimpangan terhadap Pasal 28 UU No. 2/2002 yang secara tegas menyatakan bahwa anggota aktif Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Salah satu bukti yang dipaparkan adalah telegram Kapolri tertanggal 12 Maret 2025, yang menunjuk 25 perwira aktif untuk menempati jabatan strategis di berbagai kementerian dan lembaga sipil. “Ini bukan indikasi lagi, ini sudah menjadi fakta yang bertentangan dengan hukum,” kata Yuddy.

Menurutnya, tindakan semacam ini menunjukkan bahwa institusi kepolisian telah melampaui batas kewenangannya, mengarah pada “abuse of power“, bahkan menciptakan kesan bahwa Polri ingin menjadi “superbody” yang mengintervensi berbagai sektor sipil. Hal itu dinilai sebagai bentuk kemunduran dari cita-cita reformasi total yang dimulai pada 1998.

Yuddy menekankan bahwa yang diperlukan saat ini bukan revisi undang-undang, melainkan evaluasi menyeluruh atas pelaksanaan UU yang ada. “Selama 27 tahun, belum pernah ada evaluasi kelembagaan secara komprehensif terhadap Polri. Ini yang justru harus dilakukan,” tegasnya.

Ia juga membandingkan situasi Polri saat ini dengan kondisi kepolisian di Georgia pada awal 2000-an, yang direformasi total oleh Presiden Mikheil Saakashvili setelah dinilai mengalami degradasi moral yang parah. Meski demikian, Yuddy menyebut kondisi Polri belum separah itu, namun gejala-gejala degradasi sudah tampak jelas melalui sejumlah kasus besar yang melibatkan personel polisi berpangkat tinggi.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa pembiaran terhadap penyimpangan ini akan memperburuk indeks profesionalisme kepolisian Indonesia. Berdasarkan data World Internal Security Police Index (WISPI), Indonesia hanya menempati peringkat ke-63 dari 120 negara, dengan skor 0,51 sangat jauh di bawah Singapura yang berada di posisi ke-4 dengan skor 0,84.

“Kalau kita membiarkan polisi melangkah ke luar batas, kita sedang mengikis kepercayaan publik. Ini bukan hanya soal birokrasi, tapi soal marwah negara hukum,” ujar Yuddy.

Ia menutup dengan ajakan agar semua pihak baik internal kepolisian, pemerintah, DPR, hingga masyarakat sipil bersama-sama menyuarakan reformasi Polri sebagai panggilan moral, bukan sekadar tuntutan administratif. “Reformasi Polri bukan urusan Presiden saja. Ini tanggung jawab kita semua,” pungkasnya.

Komentar