Dakwaan Jaksa Pinangki Sudah Dibacakan, ICW Nilai Ada 4 Hal yang ‘Hilang’

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Dakwaan Jaksa Pinangki sudah dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dijerat 3 dakwaan berlapis yakni suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.

Namun, ICW menilai dakwaan itu masih menimbulkan tanya. Sebab, ada beberapa hal yang dinilai ‘hilang’ dari dakwaan itu.

“ICW meragukan kelengkapan berkas Kejaksaan Agung ketika melimpahkan perkara yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Setidaknya ada empat hal yang terlihat ‘hilang’ dalam penanganan perkara tersebut,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Rabu (23/9).

Pertama, soal isi pembicaraan saat Jaksa Pinangki bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia. Menurut ICW, hal itu tidak dijelaskan oleh jaksa.

ICW menilai hal itu penting untuk didalami. Lantaran, buronan kelas kakap seperti Djoko Tjandra percaya dengan Jaksa Pinangki. Padahal, Jaksa Pinangki tak mempunyai kewenangan dalam mengurus kasus.

“Sebab secara kasat mata, tidak mungkin seorang buronan ‘kelas kakap’ seperti Djoko S Tjandra dapat menaruh kepercayaan tinggi kepada Pinangki. Terlebih yang bersangkutan juga tidak memiliki jabatan penting di Kejaksaan Agung. Selain itu, psikologis pelaku kejahatan sudah barang tentu akan selalu menaruh curiga kepada siapa pun yang ia temui,” ujar Kurnia.

Poin kedua ialah soal ‘action plan’ dari Jaksa Pinangki untuk membebaskan Djoko Tjandra dari jeratan hukum. ‘Action Plan’ itu terdiri dari 10 poin yang mengatur rencana pengajuan fatwa bebas ke Mahkamah Agung.

“Jaksa Penuntut Umum belum menjelaskan, apa-apa saja langkah yang sudah dilakukan oleh Pinangki dalam rangka menyukseskan action plan,” ujar Kurnia.

Poin ketiga ialah soal jaringan Jaksa Pinangki atau Anita Kolopaking di Mahkamah Agung. Hal itu terkait upaya dalam pengajuan fatwa di MA.

Dalam dakwaan Pinangki, disebutkan bahwa Anita Kolopaking merasa punya banyak kenalan hakim di Mahkamah Agung. Selain itu, dalam ‘action plan’ juga termuat nama Burhanuddin selaku pejabat Kejaksaan dan Hatta Ali selaku pejabat Mahkamah Agung.

Menurut ICW, jaringan-jaringan yang terkait dengan upaya pengajuan fatwa untuk Djoko Tjandra belum jelas di dalam dakwaan.

“Fatwa hanya dapat diperoleh berdasarkan permintaan lembaga negara. Tentu dengan posisi Pinangki yang hanya menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan, mustahil dapat mengurus fatwa yang nantinya kemudian diajukan oleh Kejaksaan Agung secara kelembagaan,” papar Kurnia.

Poin keempat soal pihak internal kejaksaan yang diduga membantu Jaksa Pinangki. Sebab, pengurusan fatwa dinilai tak bisa dilakukan Jaksa Pinangki seorang diri.

“Jaksa Penuntut Umum juga belum memberikan informasi, apakah saat melakukan rencana mengurus fatwa di MA, Pinangki bertindak sendiri atau ada Jaksa lain yang membantu? Sebab, untuk memperoleh fatwa tersebut ada banyak hal yang mesti dilakukan, selain kajian secara hukum, pasti dibutuhkan sosialiasi agar nantinya MA yakin saat mengeluarkan fatwa,” ungkap Kurnia.

Terlepas dari poin-poin yang jadi sorotan, ICW juga mempertanyakan proses yang dilakukan Kejaksaan Agung dalam pelimpahan surat dakwaan Jaksa Pinangki. Hal itu terkait koordinasi dengan KPK.

“Sebab, KPK sendiri secara kelembagaan telah menerbitkan surat perintah supervisi pada awal September lalu. Secara etika kelembagaan, semestinya Kejaksaan Agung berkoordinasi telah dahulu dengan KPK sesaat sebelum pelimpahan perkara itu,” pungkas Kurnia.

[kumparan]

Komentar