JurnalPatroliNews – Jakarta – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose virtual pada Senin (16/12/2024) untuk menyetujui penghentian penuntutan terhadap 16 perkara pidana melalui mekanisme restorative justice. Salah satu perkara yang disorot adalah kasus pencurian yang melibatkan tersangka Weni Anjani di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kasus ini bermula pada Oktober 2024 ketika Weni, pegawai Indomaret Point di Jalan Parangtritis, menemukan sebuah tas ransel hitam yang tertinggal di bawah kursi kafe. Tas tersebut milik Ahmad Dwi Afrianto, seorang pelanggan yang datang untuk menikmati kopi. Awalnya, Weni mengaku menyimpan tas tersebut untuk mencari pemiliknya, namun niat itu berubah menjadi tindakan melanggar hukum. Ia membawa tas itu ke tempat tinggalnya dan menghapus data-data di dalam laptop milik korban, bahkan mencopot stiker di bagian belakang laptop agar tidak dikenali.
Korban yang menyadari kehilangan melaporkan peristiwa ini ke pihak berwajib. Melalui proses hukum, Weni akhirnya mengakui perbuatannya. Fasilitasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Bantul berhasil mempertemukan Weni dan korban dalam sebuah proses mediasi. Dalam pertemuan itu, Weni meminta maaf dan menunjukkan penyesalannya atas tindakan yang telah dilakukan. Ahmad Dwi Afrianto pun dengan lapang dada memaafkan Weni dan sepakat menyelesaikan perkara ini secara damai.
Kesepakatan damai ini menjadi dasar bagi penghentian penuntutan sesuai prinsip keadilan restoratif. JAM-Pidum menjelaskan bahwa pendekatan ini lebih menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban, bukan sekadar penghukuman. “Tersangka telah mengakui kesalahan, korban juga memaafkan, sehingga tidak ada manfaat signifikan jika perkara ini dilanjutkan ke pengadilan,” ujar Asep Nana Mulyana.
Selain kasus Weni, terdapat 15 perkara lainnya yang dihentikan penuntutannya melalui mekanisme serupa. Perkara-perkara tersebut meliputi tindak pidana pencurian, penganiayaan ringan, hingga penggelapan, yang berasal dari berbagai daerah seperti Jakarta, Yogyakarta, Lampung Timur, hingga Kotawaringin Timur. Setiap kasus yang diselesaikan memiliki karakteristik serupa: pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun, dan proses perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.
Penghentian penuntutan ini juga sejalan dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Surat Edaran JAM-Pidum Nomor 01/E/EJP/02/2022. Kepala kejaksaan negeri di berbagai wilayah telah diperintahkan untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) bagi kasus-kasus tersebut.
Menurut JAM-Pidum, langkah ini tidak hanya memberikan kepastian hukum yang berkeadilan, tetapi juga mengurangi beban perkara di pengadilan. Selain itu, pendekatan ini diharapkan mampu memperkuat nilai-nilai sosial dalam masyarakat, dengan memberikan ruang bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahan dan kembali diterima di lingkungan sekitarnya.
“Keputusan ini mencerminkan komitmen Kejaksaan dalam mengedepankan hukum yang humanis. Proses ini tak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga memberi pelajaran berharga bagi tersangka untuk tidak mengulangi kesalahan serupa di masa depan,” pungkas Asep Nana Mulyana.
Dengan diterapkannya mekanisme keadilan restoratif, diharapkan lebih banyak kasus ringan dapat diselesaikan dengan cara-cara yang mengedepankan dialog, musyawarah, dan rasa kemanusiaan. Masyarakat pun menyambut baik langkah ini sebagai wujud nyata peran hukum dalam menciptakan keharmonisan.
Komentar