Lebanon: Negara yang Dipersatukan Oleh Jalur Pendakian Setelah Belasan Tahun Berdarah Akibat Perang Saudara

Terinspirasi oleh Appalachian Trail di Amerika Serikat, rute ini “menunjukkan keindahan alam dan kekayaan budaya pegunungan Lebanon”, dan telah menempatkan negara Mediterania kecil itu di peta pendakian internasional.

Menggunakan pengalamannya yang luas dan lengkap akan medan pendakian dan peta tua Angkatan Darat Lebanon, Moufarege memimpin sebuah penggambaran rute awal jalur tersebut.

Dia menjadi presiden pertama Asosiasi LMT ketika rute dibuka pada 2007.

Melalui Liban Trek dan LMT, Moufarege berupaya untuk menciptakan budaya pendakian nasional baru di Lebanon.

Tujuannya untuk mengajarkan pendaki domestik dan internasional akan keindahan lanskap Lebanon yang beragam – dari hutan ek dan pinus liar di Distrik Akkar utara hingga danau dan kebun anggur di Cekungan Beqaa.

Lalu, lokasi biara-biara dan kapel-kapel yang terletak di lereng gunung Lembah Qadisha – dan terpenting, adalah untuk menyatukan sekte-sekte di Lebanon yang sering terpecah-pecah.

Menghubungkan pendakian dengan warga lokal

“Salah satu hal yang [Moufarege] lakukan adalah menghubungkan pendakian dengan komunitas lokal,” kata Omar Sakr, presiden Asosiasi LMT saat ini.

“Dia sebenarnya berada di balik ide untuk memanfaatkan rumah-rumah warga sebagai tempat beristirahat para pendaki. Itu tidak umum sebelumnya.”

Hari ini, Asosiasi LMT melakukan pendakian tahunan yang santai dan mendalam – ide Moufarege – di mana para pendaki menghabiskan setiap malam di akomodasi lokal dan makan hidangan rumahan dengan penduduk setempat.

Rafic Saliba, yang pertama kali bergabung dengan wisata pendakian Moufarege sekitar 20 tahun yang lalu, dibesarkan di Distrik Matn yang mayoritas beragama Kristen di pegunungan timur Beirut.

Di desanya, makan malam biasanya disertai dengan segelas anggur atau arak rasa adas manis.

Dengan Liban Trek, ia jatuh cinta terhadap puncak dan lembah dramatis di Distrik Akkar utara.

Dan selama ia tinggal di desa-desa yang warganya beragama Muslim Suni itu, di mana alkohol dilarang, ia merasakan bahwa ia dapat berbicara dan tertawa dengan mudah selama beberapa hari ditemani secangkir teh atau kopi setelah makan enak.

Melalui pertukaran seperti ini, Moufarege tidak hanya memperkenalkan turis internasional ke Lebanon, tetapi juga memperkenalkan kembali komunitas yang berbeda-beda di negara itu satu sama lain setelah bertahun-tahun terpecah akibat kekerasan sektarian.

“Ketika Anda tinggal dengan [orang yang berlatar belakang berbeda], Anda memiliki pengalaman Anda sendiri, Anda tidak perlu mendengarkan apa yang orang katakan tentang mereka,” kata Saliba.

Untuk negara yang luasnya setengah dari Wales, Lebanon sangat beragam.

Populasi negara itu terbagi rata antara Muslim Suni, Muslim Syiah dan Kristen, dan negara secara resmi mengakui 18 sekte yang berbeda.

Perpecahan sektarian berperan dalam terciptanya perang saudara berdarah di negara itu, dan lebih dari 30 tahun setelah perang berakhir, banyak dari perpecahan ini tetap ada.

Melewati batas etnis dan agama

Joelle Rizk, seorang pendaki reguler dengan Liban Trek, mengingat bahwa sebagai seorang gadis, dia dikurung di lingkungannya sendiri di Beirut Timur.

“Ada perang – kami bahkan tidak bisa lolos ke Beirut Barat,” katanya.

Sekarang, dalam perjalanan mingguannya dengan Moufarege, dia mendapati dirinya duduk di lereng bukit di daerah yang dulunya terlarang, mengobrol dengan para gembala ternak tentang cuaca dan lanskap lokal.

Pengalaman itu telah membentuk rasa kecintaan yang baru pada negaranya, kata Rizk.

“Saya selalu sedih karena dilahirkan sebagai orang Lebanon, Anda tahu, kami mengalami perang dan kesulitan,” katanya.

“Dan setiap kali saya bepergian, saya sangat sedih ketika kembali ke Lebanon. Sekarang, saya sangat senang bahwa saya orang Lebanon. Ini semua karena pendakian.”

Semangat Moufarege sendiri untuk mendaki dimulai ketika masih kecil.

Ia menghabiskan musim panas di desa pegunungan utara Ehden dan Hasroun bersama keluarganya.

“Sejak kecil saya sudah tertarik dengan puncak dan gunung tinggi itu, bahkan sebelum bisa mendaki,” katanya.

Perkenalan resminya dengan pendakian dimulai pada awal 1970-an ketika bergabung dengan kelompok pendaki bernama Le Club des Vieux Sentiers (“Klub Jalan Kaki Tua”) yang menelusuri sepanjang rute perdagangan kuno.

Bahkan pecahnya perang saudara Lebanon pada tahun 1975 tidak menyurutkan semangat para anggota klub untuk mendaki gunung.

“Selama perang, kami pergi ke mana pun kami bisa pergi,” kenang Moufarege.

“Pada siang hari, kami biasa naik gunung dan kami akan kembali. Akan ada banyak pemboman dan penembakan di Beirut yang bahkan tidak kami sadari. Itu membuat kami tetap bersemangat, dan kami tidak pernah berhenti.”

Pada tahun 1997, tujuh tahun setelah perang berakhir, Moufarege memilih untuk meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan asuransi untuk menjadi pemandu pendakian penuh waktu.

“Saya akhirnya memutuskan bahwa saya telah mencurahkan begitu banyak waktu [untuk pendakian] sehingga saya akan meninggalkan pekerjaan biasa dan memulai Liban Trek.”

Trip pendakian kelompok berpemandu mingguan perusahaan dengan cepat menjadi populer karena alasan sosial dan praktis.

Sebelum pembentukan LMT, banyak jalur di Lebanon merupakan jalur tak bertanda yang dipakai oleh para gembala dan penduduk lokal lainnya yang melakukan perjalanan antar desa.

Komentar