Lebanon: Negara yang Dipersatukan Oleh Jalur Pendakian Setelah Belasan Tahun Berdarah Akibat Perang Saudara

JurnalPatroliNews – Puluhan tahun setelah perang saudara (1975-1990) yang mengotori wilayah dan menewaskan ratusan ribu orang, Lebanon menggunakan jalur pendakian untuk memperkenalkan keindahan lanskap alamnya. Namun pendakian juga kemudian mampu menyembuhkan jiwa nasionalnya yang terluka karena perang saudara.

Melewati kawasan perkotaan Beirut, bus kami melintasi perbukitan yang landai di jalan raya pesisir Lebanon. Laut Mediterania yang berkilauan di satu sisi dan puncak-puncak terjal menjulang dari kejauhan di sisi lain.

Kami kemudian berbelok ke pedalaman dan mendaki jalan sempit menuju pegunungan di Distrik Koura, bagian utara negara itu.

Dari atas terlihat lereng bukit bertingkat dan atap-atap rumah berwarna kemerahan dari desa-desa di bawahnya.

Kami kemudian menelusuri kebun zaitun dan buah koura serta melewati sebuah kuil di pinggir jalan.

Pemandu kami, Michel Moufarege, yang telah hafal lanskap dan sejarah hampir setiap kantong wilayah di negara ini, menunjukkan peninggalan sejarah kepada saya dan belasan pendaki di dalam mobil: sebuah kuil Romawi.

Kuil itu didedikasikan untuk seorang santo atau pemuka agama Katolik yang menyamar guna menolong warga yang kesulitan saat bekerja di pertambangan semen di sana dahulu.

Setelah itu, kami memasuki hutan cedar kuno Bsharri dan berhenti di Desa Arz untuk beristirahat sejenak dan dilayani oleh perempuan lokal yang menyiapkan manakeesh – hidangan khas Lebanon berupa roti pipih dengan keju atau timi dan wijen za’atar.

Kami pun tiba di tujuan akhir: sebuah jalan setapak yang menjadi pintu masuk menuju puncak gundul Dahr al Qadib setinggi 3.000 meter, salah satu gunung tertinggi di Lebanon.

Saat kami mendaki punggung bukit batu kapur yang curam, beberapa pejalan kaki yang berusia muda terlihat terengah-engah, tetapi tidak bagi Moufarege.

Pada usianya yang ke-77 tahun, tokoh negarawan di dunia pendakian Lebanon itu tampak tidak kelelahan. Ia terus naik ke atas dengan kecepatan yang diatur.

Terlahir dengan kondisi yang membuat lengannya cacat, ia mengandalkan pijakannya yang sangat pasti untuk keseimbangan.

Di puncak, kabut yang menyelimuti gunung di awal perjalanan telah hilang, memperlihatkan panorama dataran dan danau Lembah Beqaa di bawahnya.

Moufarege menolak menyebutkan tempat pendakian favoritnya di Lebanon, tetapi dia berbicara dengan rasa hormat untuk yang satu ini.

“Area di atas pohon aras [spesies dari cedar] dengan rangkaian pegunungan tertinggi adalah sangat istimewa bagi saya karena kemurnian udaranya, karena warna tanahnya, karena hamparan yang terbuka di depan Anda,” katanya.

“Tempat ini bagus, tempat yang sangat bagus.”

Moufarege telah memimpin banyak kelompok pendaki ke beragam pegunungan di Lebanon selama hampir seperempat abad sejak ia mendirikan perusahaan ekowisata pertama negara itu, Liban Trek, pada tahun 1997.

Walaupun kelompok pendaki informal telah ada di Lebanon sebelumnya, perang saudara selama 15 tahun di negara itu (1975- 1990) membuat orang tidak bisa bergerak bebas di sana.

Akibatnya, banyak pejalan kaki mencari pemandu yang berpengalaman untuk menavigasi jalan setapak yang ditandai dengan buruk dan ranjau darat yang tidak meledak yang masih mengotori jalur pendakian.

Jalur yang menyatukan Lebanon

Delapan tahun setelah meluncurkan Liban Trek, Moufarege memainkan peran kunci dalam pembuatan Lebanon Mountain Trail (LMT), yaitu jalur pendakian sepanjang 470 km yang membentang dari utara ke selatan dan menghubungkan lebih dari 75 kota serta desa yang beragam etnis.

Komentar