Niigata Geigi: Geisha ‘yang Lain’ di Jepang yang Hampir Tergerus Zaman

JurnalPatroliNews – Penari itu tanpa suara melintasi lantai tikar tradisional Jepang bernama tatami, dengan sebatang daun maple yang warnanya memerah di tangan kanannya.

Lengan panjang kimononya menunjukkan bahwa dia adalah seorang furisodeatau geisha magang.

Di belakangnya, onesan (geisha senior) dengan kimono coklat kekuningan duduk di lantai, memetik irama mendayu-dayu pada shamisen (alat musik dawai) tiga senar dengan pick besar berbentuk baji.

Mungkin Anda berpikir itu adalah pemandangan khas dari distrik Gion di Kyoto, Jepang.

Akan tetapi, pemandangan ini terjadi di 500 km ke barat laut Kyoto di Niigata, kota pelabuhan bersejarah di pantai barat Pulau Honshu.

Tradisi geisha di Niigata sudah ada pada era Edo (1603-1867) ketika kota ini merupakan pelabuhan utama di rute pengiriman Kitamaebune – yang secara harfiah berarti, “kapal yang menuju ke utara” – yang menghubungkan Osaka dengan Hokkaido.

Kala itu, ribuan kapal kargo melakukan perjalanan setiap tahun.

Sebagai ibu kota daerah penghasil beras terbesar di Jepang, Niigata menjadi pelabuhan tersibuk di pesisir Laut Jepang.

Sehingga pada awal era Meiji (1868-1912), Niigata adalah salah satu bagian negara yang paling kaya dan paling padat penduduknya.

Distrik hiburan

Sebuah distrik hiburan yang berkembang tumbuh di pusat bisnis Niigata, Furumachi, untuk melayani pedagang kaya yang tak terhitung jumlahnya dan pengunjung lainnya.

Geisha (atau geigis, dalam dialek lokal) mulai tampil di banyak kedai teh di Furumachi, ozashiki (ruang perjamuan) dan ryotei (restoran mewah).

Politisi dan bahkan anggota keluarga Kekaisaran termasuk di antara pelanggannya. Pada tahun 1884, hampir 400 geigi tampil di Furumachi.

Nobuko, onesan(geisha senior) yang memainkan shamisen dengan lagu mendayu-dayu saat anak didiknya menari, telah menjadi geigi di Furumachi selama 64 tahun.

Komentar