Niigata Geigi: Geisha ‘yang Lain’ di Jepang yang Hampir Tergerus Zaman

Ia ingat pernah menjamu tamu selebriti, termasuk Pangeran Takamatsu, saudara Kaisar Hirohito; dan Kakuei Tanaka, perdana menteri dari tahun 1972 hingga 1974.

Seperti semua geisha, Nobuko hanya dikenal dengan nama depannya.

“Pangeran itu sangat ramah,” kenangnya.

“Ia melontarkan banyak lelucon. Saya tidak yakin apakah saya harus menyebutkan ini, tapi ia bermain mahjong dengan para geigis senior. Saya menonton mereka sambil menyajikan sake dan teh.”

Kendati aktivitas geisha terhenti selama Perang Dunia Kedua, namun distrik hiburan Niigata kembali menggeliat dengan cepat setelah perang usai.

Meskipun tidak pernah kembali ke puncak kejayaannya, tempat ini masih menawarkan pandangan menarik tentang budaya dan seni tradisional Jepang.

Hanamachi yang otentik

Tidak seperti daerah geisha di Kyoto yang terlalu banyak turis, Furumachi adalah salah satu dari sedikit bagian Jepang di mana para pelancong masih dapat menikmati lingkungan otentik hanamachi atau Kota Bunga tradisional, sebutan untuk distrik geisha.

“Saat ini, mungkin seseorang hanya dapat mengalaminya di Kyoto, Kanazawa [ibukota Prefektur Ishikawa] dan Furumachi,” kata Aritomo Kubo, anggota staf di Furumachi Kagai Club, yang membantu melestarikan pemandangan jalanan tradisional Furumachi dengan mempertahankan arsitektur warisannya.

“Selain itu, banyak ryotei(restoran tradisional bergengsi) di Furumachi adalah bangunan asli, yang berasal dari tahun 1800-an,” tambahnya.

Furumachi memiliki keuntungan tambahan karena banyak ryotei-nya menerima pengunjung baru, sementara banyak distrik geisha terkenal lainnya memerlukan pengenalan dari klien tetap.

Niigata juga merupakan rumah bagi Sekolah Tari Tradisional Ichiyama, sebuah gaya unik yang dipraktikkan oleh geigi Niigata yang telah menjadi dasar pertunjukan lokal selama lebih dari 100 tahun dan ditetapkan sebagai Properti Budaya Takbenda di Jepang.

Para geigi menampilkan gaya tarian ini ketika menyanyikan lagu-lagu seperti “Niigata Okesa”, yang dibawa ke Niigata oleh para pelaut yang berlayar di jalur perdagangan Kitamaebune.

Namun, dengan munculnya televisi, bioskop, dan hiburan alternatif lainnya, minat akan hiburan yang ditawarkan geisha menurun drastis.

Pada akhir 1970-an, jumlah geigi Furumachi menyusut, tak sampai 100 orang.

Pada 1985, hanya tersisa 60. Dengan tidak adanya geisha magang baru sejak akhir 1960-an, geigi termuda di Furumachi berusia 30-an.

Pada saat itu, jauh lebih sedikit perempuan muda yang tertarik menghabiskan delapan tahun hidup mereka untuk mempelajari keterampilan geisha yang penting: shamisen; lagu-lagu; tarian; sopan santun.

Akibatnya, tingkat peserta pelatihan baru gagal mengimbangi tingkat pensiun.

Lebih jauh lagi, tidak seperti Kyoto – ibukota Jepang yang indah selama lebih dari 1.000 tahun (794-1868) – Niigata yang terpencil adalah tempat yang jarang dikunjungi wisatawan, yang semakin membatasi permintaan akan pertunjukan geisha.

Pada 1980-an, lesunya bisnis hiburan memaksa banyak ryotei tutup.

Namun, secercah harapan muncul pada 1987, ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk membantu menjaga tradisi geisha Niigata tetap hidup.

Perekrutan geigi modern

Ryuto Shinko Co, Ltd menjadi perusahaan perekrutan geigi pertama di Jepang, yang bertujuan tidak hanya untuk melatih geigi baru tetapi juga untuk bertindak sebagai perantara, menghubungkan mereka dengan ryotei dan perusahaan lainnya.

Didukung oleh sponsor dari 80 bisnis lokal, Ryuto Shinko mengontrak para geigi sebagai pekerja tetap, memberikan perawatan kesehatan dan tunjangan lainnya.

Mereka juga berharap untuk meningkatkan kesadaran dan meningkatkan pariwisata melalui barang dagangan seperti kaus, kalender, kipas angin, dan bahkan gambar yang memuat gambar Furumachi Geigi.

Yui – murid magang yang menari di atas tikar tatami – adalah salah satu rekrutan mereka.

“Saya bergabung setelah lulus SMA. Ini baru tahun kesembilan saya,” katanya.

“Saya mulai belajar tarian tradisional Jepang ketika saya masih kecil. Jadi saya sudah menyukai kimono dan suara instrumen klasik Jepang.”

Ryuto Shinko telah memperkenalkan sikap inovasi ke dalam dunia tradisional geisha.

Komentar