Warga Palestina Tolak Relokasi, Trump Bilang Gini

JurnalPatroliNews – AS – Warga Palestina dengan tegas menolak usulan pemindahan populasi yang diusulkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Mereka menegaskan tidak akan meninggalkan tanah kelahiran mereka meskipun terus menghadapi tekanan dari Israel, sekutu utama AS.

Trump sebelumnya mengutarakan gagasan untuk memindahkan warga Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania, dengan alasan untuk meningkatkan keamanan di kawasan tersebut. “Kita sedang berbicara tentang sekitar satu setengah juta orang. Kita bisa mengosongkan wilayah ini dan menyatakan bahwa semuanya sudah selesai,” katanya.

Pernyataan tersebut memicu reaksi keras. Banyak pihak menilai usulan ini sebagai bentuk pengusiran massal, terlebih dengan adanya kebijakan pemukiman Israel yang semakin agresif di wilayah Gaza.

Tekad Warga Gaza untuk Bertahan

Saqr Maqdad, seorang warga Gaza Utara, menegaskan bahwa dirinya tidak akan pergi meskipun kehancuran melanda wilayahnya. Menurutnya, setiap jengkal tanah Gaza memiliki sejarah dan kenangan yang tak tergantikan.

“Gagasan relokasi yang disebutkan Trump hanyalah angan-angan. Setelah semua yang kami alami, apakah dia pikir kami akan meninggalkan rumah kami begitu saja? Ini tanah kami, dan kami akan tetap di sini,” katanya kepada Al Jazeera, Selasa (28/1/2025).

Sikap serupa diungkapkan Abu Suleiman Zawaraa, seorang petani di Khan Younis, Gaza Selatan. Meski ladangnya hancur akibat serangan Israel, ia tetap kembali menanam zaitun dan jeruk. Baginya, meninggalkan Gaza bukanlah pilihan.

“Kami telah bertahan dari serangan, kehancuran, dan kehilangan. Namun, itu tidak akan membuat kami menyerah. Hidup di antara puing-puing adalah tantangan yang kami hadapi dengan tekad,” ungkapnya.

Sejak Israel melancarkan serangan ke Gaza pada 7 Oktober 2023, lebih dari 46.700 warga Palestina tewas, termasuk 18.000 anak-anak. Hampir 1,9 juta orang mengungsi, sementara infrastruktur kota mengalami kerusakan parah. Data menunjukkan bahwa 92% jalan utama dan 84% fasilitas kesehatan hancur akibat serangan tersebut.

Kenangan Nakba dan Keteguhan Warga Palestina

Abu Suleiman menyatakan bahwa pengalaman traumatis Nakba tahun 1948 masih membekas dalam ingatan warga Palestina. Saat itu, sekitar 750.000 warga Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka setelah berdirinya Israel.

“Kami memahami betul apa yang terjadi saat itu. Mereka yang pergi tidak pernah kembali. Kami tidak akan membiarkan sejarah terulang kembali,” tegasnya.

Banyak warga Gaza yang tetap bertahan meskipun ada peluang untuk meninggalkan wilayah tersebut. Mereka menganggap perjuangan mempertahankan tanah air sebagai bagian dari identitas dan perlawanan mereka.

Israa Mansour, seorang ibu empat anak yang kini tinggal di tenda darurat setelah rumahnya hancur, juga menolak gagasan relokasi. “Kami memilih bertahan bukan karena tidak punya pilihan, tetapi karena ini adalah rumah kami,” ujarnya.

Namun, ia menekankan bahwa untuk bisa bertahan, warga Palestina membutuhkan dukungan berupa akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan kemanusiaan. “Tidak mungkin kami diminta bertahan tanpa dukungan dasar. Rakyat Gaza butuh bantuan agar bisa melanjutkan perjuangan mereka,” pungkasnya.

Komentar