Pasir Timah Ilegal Diperairan Teluk Kelabat Belinyu Dan Sekitarnya Kembali Dijarah

JurnalPatroliNews, Pangkalpinang – Meroketnya harga jual pasir timah dipasaran dan keinginan untuk meraup keuntungan yang besar dari bisnis membeli/menampung hasil produksi pasir timah dari ponton apung Ti Rajuk aktifitas penambangan rakyat di perairan teluk Kelabat Dalam laut Belinyu di wilayah kabupaten Bangka dan Bangka Barat.

Membuat cukong timah (bos timah) yang dikenal dengan sebutan ‘ Kolektor Timah’ sebagai pembeli sekaligus penampung pasir timah dari aktifitas tambang timah rakyat di Bangka Belitung (Babel), tampaknya melihat ratusan ponton apung Ti Rajuk yang beraktifitasnya di perairan teluk Kelabat Dalam laut Belinyu sebagai peluang untuk memanfaatkan mendapatkan keuntungan yang cepat dan berlipat, meskipun diketahui publik Babel aktifitas penambangan tersebut disinyalir ilegal.

Pasalnya, ratusan ponton apung Ti Rajuk yang beraktifitas di perairan teluk Kelabat Dalam laut Belinyu berkerja/beraktifitas tidak mengantongi perizinan dari pemilik IUP (izin Usaha pertambangan) sebagai besar dikuasai oleh PT Timah Tbk, dan diketahui sampai saat ini perusahaan penambangan milik BUMN tidak pernah menerbitkan SPK (Surat Perintah Kerja) kepada peseroan komanditer atau commanditaire venootschap (CV) sebagai mitra perusahaannya.

Meskipun, ada perusahaan CV yang mengakui mengantongi izin beraktifitas di IUP Pemda (pemerintah daerah) setempat namun publik Babel meragukan legalitas izin beraktifitasnya ponton-ponton Ti Rajuk di IUP Pemda, apakah benar-benar beroperasi tepat di titik koordinat yang adanya.

Selain itu, perairan teluk Kelabat Dalam laut Belinyu merupakan daerah zona zero tambang atau dalam kawasan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kawasan Teluk Kelabat dan sekitarnya diperuntukkan sebagai kawasan KPU-W-P3K atau kawasan wisata selain daerah tangkapan nelayan yang telah disahkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2020 tentang RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Hal tersebut termaktub dalam Pasal 16 huruf (a) dengan cakupan wilayah mulai dari Pantai Pesaren, Perairan Pulau Mengkudu, Perairan Pulau Dua Timur (Toti), Perairan Pulau Pebirik, Perairan Pulau Putri dan Pulau Nanas, Perairan Pantai Leper, Tanjung Putat, Pulau Mengkubung dan Hatchery.

Bahkan dipertegas oleh Gakum KLHK ada perairan di daerah atau desa masuk dalam kawasan konservasi alam seperti perairan Perimping, Sunur, Tanjung Kelapa Utan dan Kianak.

Setelah diketahui oleh Aparat Penegak Human (APH) Babel ada ratusan ponton Ti Rajuk yang menambang di kawasan tersebut tidak mengantongi izin atau ilegal, bahkan sempat terdengar para oknum penambang dan pengusaha kolektor timah mengaku aktifitas kegiatan menambang mereka sudah berkoordinasi dengan APH Babel.

Kemudian, pihak kepolisian dari Polda Kepulauan Babel, Polres Bangka dan Polres Bangka Barat menggelar penertiban terhadap ponton-ponton apung Ti Rajuk yang beraktifitas di perairan teluk Kelabat dan sekitarnya.

Meskipun penertiban yang dilaksanakan pihak kepolisian sempat terdengar l sumbang ke telinga publik Babel lantaran disinyalir ada puluhan ponton Ti Rajuk yang terjaring dalam penertiban/razia tidak diproses justru para penambang/pemilik ponton Ti Rajuk menjadi mitra binaan oknum kepolisian, dan infonya puluhan ponton Ti Rajuk tersebut digiring untuk beraktifitas ke desa Perimping Riau Silip dan daerah perairan lainnya.

Hal tersebut bukan menjadi rahasia umum bahwa berjalan aktifitas penambang rakyat tentunya ada oknum masyarakat penambang sebagai koordinator lapangan (korlap), selain ada cukong timah/kolektor timah yang membeli pasir timah sebagai penampung dan memback up kegiatan serta yang membangun komunikasi dengan APH Babel agar kegiatan berjalan lancar dan aman, tentunya tidak gratis pasti ada timbal baliknya seperti komitmen-komitmen fee, inilah yang dikenal oleh masyarakat penambang dengan ‘sistem koordinasi’.

Selain itu, publik pun tahu setiap wilayah desa yang berpotensi menyimpan cadangan timah, dan jika kemudian dapat beraktifitas secara ilegal tentu sudah ada oknum warga dan pengusaha kolektor timah yang mengkondisikannya, sehingga wilayah tersebut menjadi daerah binaan untuk menjalankan bisnis usaha membeli atau menampung pasir timah ilegal dari aktifitas ponton-ponton Ti Rajuk tersebut.

Maka tak heran jika ada oknum warga dan pengusaha kolektor timah yang berani membawa nama institusi APH Babel mengaku sudah ‘Koordinasi’, sehingga ada istilah baju coklatlah, ijolah, birulah dan orang istanalah.

” Sudahlah pak, semua orang tahu dimana daerah yang banyak timahnya walaupun dalam kawasan kami penambang dan pemilik ponton sudah ada yang mengkoordinir, dan timah kami ada bos (kolektor timah-red) yang membelinya, sudah pastilah koordinasi dengan aparat terkait, mana mungkin kami berani berkerja, kalo tidak ada yang menjamin ” ungkap pria Ks (40) mengaku asal Selapan Sumsel kepada jejaring media Pers Babel, Sabtu (24/07/2021).

Kendati sebagian publik/masyarakat tidak semua mempercayai informasi itu, justru saat penertiban ponton-ponton Ti Rajuk publik pun terperangah dan baru mengetahui ponton-ponton Ti Rajuk siapa saja yang benar-benar diamankan/ditangkap dan kemudian dilanjutkan untuk di proses hukum.

Tak heran jika para penambang dan pemilik ponton Ti Rajuk yang hanya bermodal mengaku sudah Koordinasi” dengan oknum APH Babel dan nekat nyatanya dijadikan tumbal atau korban, dan diproses lebih lanjut sesuai dengan aturan hukum.

” sudah banyak contoh penambang yang sok berani atau nekat terus berkerja saat dirazia (penertiban-red) oleh Polda dan Polres langsung ditangkap dan diproses sampai ke meja hijau, disitulah kami tahu bahwa oknum yang mengkoordinir hanya ngaku-ngaku jual nama aparat,” ungkapnya.

Selebaran Surat Dari CV Tambang Rakyat Bersatu Ajak Menambang Bersama

Baru beberapa pekan pasca penertiban ratusan ponton Ti Rajuk yang beraktifitas di perairan teluk Kelabat laut Belinyu dan sekitarnya.

Saat ini dikabarkan masyarakat penambang dan pemilik ponton Ti Rajuk banyak mendapatkan selembar surat dari perusahaan tambang CV Tambang Rakyat Bersatu (CV TBR) mengajak untuk menambang di pulau Kianak dan perairan teluk Kelabat laut Belinyu.

Tampak Selebaran surat kesepakatan bersama untuk menambang ditujukan ke masyarakat penambang khusus kepada pemilik ponton Ti Rajuk, dan surat kesepakatan bersama atasnama CV TRB tertulis nama Iwan P mewakili pihak perusahaan sebagai koordinator lapangan dan calon pemilik ponton ti Rajuk.

Di dalam selebaran isi surat tersebut, setidak ada 4 (empat) poin kesepakatan yang memuat isi kewajiban perusahaan menjamin keamanan. Disambung dengan kewajiban penambang melakukan penyetoran hasil produksinya sebanyak 50% kepada perusahaan CV TRB. Dan Dengan harga timah yang dibayar kepada penambang/pemilik ponton Ti Rajuk sebesar Rp 139.000/kg (seratus tiga puluh ribu rupiah per kilogram), setelah dipotong 15% fee untuk desa.

Pada poin ketiga, pihak penambang ditawarkan opsi kedua, yakni menyetor hasil timahnya 100% dan dibayar oleh CV TRB dengan harga Rp 150.000/kg (seratus lima puluh ribu rupiah per kilogram) dengan dipotong 15% fee untuk desa.

Selain itu didalam point lainnya isi surat tersebut disebutkan bahwa harga di atas berdasarkan harga kotor atau bersih timah.

Bahkan hebatnya lagi di point terakhir, seolah pihak CV TBR menunjukkan kekuatan Koordinasinya, dengan menegaskan bahwa pihak penambang/pemilik ponton Ti dilarang menjual hasil produksi timah kepada pihak lain, dan apabila melanggar daripada aturan tersebut, maka seluruh timah akan dilakukan penyitaan oleh tim BKO lapangan dan ponton akan dikeluarkan dari wilayah kerja perusahaan.

Perusahaan CV Tambang Rakyat Bersatu Membantah

Ketika Jejaring media ini mengkonfirmasi langsung pada pihak perusahaan, pihak CV Tambang Rakyat Bersatu (TRB) justru membantahnya terkait kegiatan penambangan rakyat yang dikoordinir oleh pihak perusahaan.

“Bukan, Itu tidak tau CV mana, memang CV punya kita. Tapi Direktur perusahaan Ibu Lenni yang berhak mengeluarkan surat apapun bentuknya,” kata perwakilan perusahaan saat dikonfirmasi, Senin (27/07/2021) sore.

Ditegaskan, pihak perwakilan perusahaan CV TRB bahwa tidak ada nama karyawan dan korlap mereka bernama Iwan P meskipun pihak perusahaan mengakui memang benar bahwa CV Tambang Rakyat Bersatu perusahaan mereka dengan direktur bernama Lenni, dan hanya posisi direktur yang berhak menandatangani surat atasnama perusahaan.

“Yang harus mengeluarkan surat ini Ibu Lenni bukan iwan. Kalau CV itu benar Direkturnya ibu Lenni,” Tegas.

Ketika disinggung soal berkerja di IUP siapa, justru perusahaan ini tidak menyebutkan lantaran selebaran surat yang beredar di masyarakat penambang atau pemilik ponton Ti adalah palsu.

” Maaf dk bisa di infokan .. karna surt yg di edar itu pemalsuan, dan ada beberapa IUP yg akan kita kerjakan,” Pungkas pria yang mengaku mewakili CV TRB mengakhiri pembicaraannya.

Untuk memperkuat informasi dan data apakah rencana kegiatan menambang dibawah koordinaai perusahaan CV Tambang Rakyat Bersatu masuk dalam kawasan hutang yang dilarang, Jejaring media ini juga melakukan konfirmasi pada salah seorang staf Gakkum KLHK Wilayah Bangka Belitung, Saeful perihal status kawasan di perairan laut Mengkubung serta ancaman sanksi pidana bagi penambang liar.

“Terkait lokasi tambang tersebut masuk kedalam kawasan hutan atau tidak itu harus di cek ke lokasi dan diambil titik koordinatnya untuk selanjutnya ditelaah oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan wilayah XIII Pangkalpinang,” terang Saeful.

Dijelaskannnya, untuk sanksi perlu dilihat lagi siapa pelakunya. Jika itu perusahaan bisa dikenakan sanksi pidana, perdata atau administrasi.

Diketahui, sebelumnya sejumlah ponton Ti Rajuk binaan atau dikoordinir Lenni direktur perusahaan CV Tambang Rakyat Bersatu sempat terjaring saat penertiban di perairan laut Mengkubung pada bulan lalu, dan sejumlah penambang dan pemilik ponton Ti Rajuk sempat diperiksa dan diamankan oleh pihak Polres Bangka.

Disinyalir, pasca penertiban atau razia pihak perusahaan menggeser koordinat pengambilan pasir timah ke kawasan konservasi Pulau Kianak.

(Red)

Komentar