JurnalPatroliNews – Manado, – Beberapa waktu terakhir, Ditjen Bea Cukai yang berada di bawah Kementerian Keuangan tengah menjadi bulan-bulanan kritik masyarakat. Sejak saat mencuatnya kasus di Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai turut terkena imbasnya.
Gaya hidup mewah para pejabat Bea Cukai serta keluarga saat ini memang tengah menjadi sorotan publik. Mulai dari Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono dipanggil KPK untuk memberikan klarifikasi soal harta fantastisnya.
Baru-baru ini, Menko Polhukam Mahfud MD juga sempat menyebutkan bahwa ada transaksi mencurigakan sampai dengan Rp 300 triliun yang didominasi dari rekening milik pegawai Pajak dan Bea Cukai.
Institusi Bea Cukai pun kembali dibanjiri kritik setelah salah seorang pegawainya yang bernama Widy Heriyanto memberikan hujatan warga pembayar pajak dengan sebutan babu di media sosial Twitter.
Melansir dari laman resmi Media Keuangan (MK+) Kementerian Keuangan, institusi Bea Cukai pernah dibekukan pada saat pemerintahan Orde Baru karena menjadi sarang korupsi yang dinilai sangat parah.
Presiden Republik Indonesia yang pada saat itu diduduki oleh Presiden Soeharto sangat gerah dengan adanya praktik korupsi yang sangat marak terjadi di Bea Cukai. Meskipun tidak sampai dibubarkan, Presiden Soeharto memutuskan untuk membekukan institusi tersebut.
Pada era Orde Baru, praktik korupsi terlebih pungutan liar (pungli), masih begitu lekat dengan para pegawai Bea Cukai. Mereka melakukan berbagai siasat dengan pengusaha ekspor impor.
Terdapat banyak pengusaha yang melakukan tindak pidana korupsi berupa suap para pegawai Bea Cukai untuk memuluskan penyelundupan. Praktik tersebut kerap kali disebut dengan “Uang Damai”.
Pada 6 Juni 1968, Menteri Keuangan Ali Wardhana mengakui terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di Bea Cukai.
Praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea Cukai terjadi dikarenakan terjalin sebuah kongkalikong diantara Bea Cukai dan importir penyelundup.
Saat Ali Wardhana melakukan sidah mengunjungi kantor Bea Cukai yang berlokasi di Tanjung Priok pada Mei 1971, ia melihat sendiri para petugas malah sedang bersantai. Ia juga mendapatkan kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.
Temuan itu membuat Ali Wardhana meradang. Ia merombak jabatan Bea Cukai dengan melakukan mutasi pejabat eselon II antar unit eselon I. Di tahun 1978, Direktur Bea Cukai sempat digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali.
Namun nyatanya cara tersebut tidak bisa memperbaiki kinerja Bea dan Cukai. Bentuk penyelewengan dan juga penyelundupan masih terus terjadi.
Diambil Alih
Dengan berdasar pada instruksi Presiden, kemudian diputuskan untuk mempercayakan sebagian wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss yang bernama Societe Generale de Surveillance (SGS).
Hal tersebut berarti, banyak para pegawai Bea Cukai yang terpaksa dirumahkan karena pekerjaan mereka diambil alih oleh PT Surveyor Indonesia.
Kewenangan tersebut kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 terkait dengan Kepabeanan yang diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.
Kemudian, direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan.
Undang-Undang tersebut juga memberikan kewenangan lebih luas kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan juga fungsi yang dipegangnya.
Dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang tersebut, produk hukum kolonial tidak berlaku lagi.
Begitu juga dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 untuk menggantikan kelima ordonansi cukai yang sebelumnya.
Komentar