JurnalPatroliNews – Jakarta – Koalisi masyarakat sipil melayangkan somasi terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait pemberian dosis ketiga vaksin Covid-19 atau booster kepada sejumlah pejabat negara.
Koalisi yang terdiri dari 79 organisasi mendesak Presiden Jokowi dan Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk membeberkan data siapa saja yang telah menerima booster vaksin.
“Kami memberikan kesempatan kepada Presiden RI dan Menteri Kesehatan RI selama tujuh hari untuk membuka data daftar penerima vaksin ketiga atau booster,” tulis koalisi melalui keterangan resmi yang diterima rekan media, Senin (30/8).
Koalisi menyatakan bahwa pelaksanaan booster vaksin pejabat tidak sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Nomor: HK.02.01/1/1919/2021 yang menyebutkan bahwa vaksin booster hanya untuk tenaga kesehatan (nakes).
Namun, beberapa waktu lalu terungkap bahwa sejumlah pejabat tinggi negara mengaku sudah menerima booster vaksin. Bahkan mengungkapkannya di hadapan Jokowi saat kunjungan ke Kalimantan Timur.
“Hal ini sangat ironis dalam situasi banyaknya kematian nakes dan masih banyaknya masyarakat yang bahkan belum mendapat vaksin,” tutur koalisi.
Koalisi juga menilai booster vaksin belum perlu dilakukan mengingat capaian vaksinasi di Indonesia masih rendah. Hingga hari ini, Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 62.294.896 orang telah menerima suntikan dosis vaksin virus corona, sementara baru 35.314.460 orang telah rampung menerima dua dosis suntikan vaksin.
Itu artinya target vaksinasi pemerintah baru menyentuh 29,91 persen dari total sasaran 208.265.720 orang terkait suntikan dosis pertama. Sedangkan suntikan dosis kedua baru berada di angka 16,96 persen.
Koalisi juga menunjukkan sejumlah kasus vaksinasi di daerah yang terpaksa dihentikan sementara akibat kehabisan stok vaksin. Seperti di Kendari, Sulawesi Tenggara yang sempat menghentikan vaksinasi dosis satu pada 7 Juli lalu.
Kejadian serupa juga dilaporkan di Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Kota Batam di Kepulauan Riau. Kemudian, vaksinasi di Karimun yang terhenti sejak 19 Juli padahal sasaran vaksinasi belum rampung.
“Vaksinasi di beberapa daerah terpaksa terhenti karena keterbatasan vaksin, bahkan di beberapa daerah kehabisan stok,” kata mereka.
Koalisi menilai selama ini penyaluran vaksin Covid-19 tidak merata sehingga bertentangan dengan panduan Strategic Advisory Group Expert milik Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Mereka juga menganggap masih ada konflik kepentingan dibalik pengadaan vaksin. Konflik kepentingan tersebut menurut mereka telah ditunjukkan pada beberapa fakta seperti pemberian vaksin booster pada influencer hingga pejabat. Atas dasar itu, koalisi meminta pemerintah membuka data setransparan mungkin.
“Serta membuka data jumlah dosis vaksin yang tersedia dan akan tersedia, pemegang impor vaksin tersebut dan rencana penyalurannya,” tulis koalisi.
Dengan segala temuan itu, koalisi menganggap pemerintah telah melanggar sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.
Kemudian, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, PP 40/1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, hingga Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Menanggulangi Pandemi Corona Virus Disease 2019.
“Koalisi berharap agar Jokowi dan Menkes Budi dapat memenuhi kewajiban sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang. Jika Presiden RI dan Menteri Kesehatan RI tidak memenuhi tuntutan ini, maka kami akan mengambil tindakan hukum yang diperlukan,” tegas koalisi.
(*/lk)
Komentar