“Relasi atau hubungan antar agama seringkali tegang. Kira-kira dimulai sejak adanya transisi orde lama ke orde baru kerap terjadi kasus sektarianisme kelompok yang dianggap sesat. Jika itu benar masih terjadi, maka kita menghadapi persoalan yang tidak ada ujung pangkal. Bagaimana menafsirkan tafsir teologis yang begitu luas, dan biasanya pihak dominan akan menarik tangan negara untuk menyelesaikannya.” katanya.
Trisno menjelaskan bahwa dalam urusan antar agama agaknya merupakan dari persoalan eksternal. “Tapi kalau misalnya sesama Kristen, bagaimana menyelesaikannya? Semua tafsir pasti berbeda, begitu pula di dalam Islam antara Sunni dan Syiah. Jika ditarik ke belakang, itu terjadi pada 2004-2006 ketika ada serangan terhadap Ahmadiyah.”
Trisno menjelaskan bahwa dalam riset PGI, dalam banyak persoalan krusial dalam hal-hal mendasar negara, ternyata agama sering menghantui sehingga membelokkan percakapan.
“Dalam amandemen konstitusi terdapat semangat pembaharuan yang begitu besar. Seluruh perangkat aturan tentang HAM masuk di dalamnya, yang didasarkan pada kebebasan, tetapi diujung semua itu lalu dibatasi oleh nilai-nilai agama. Dan itulah yang menghantui kita dalam sila pertama Pancasila.” Lanjutnya.
“Agama leluhur juga menjadi masalah. Sudah terjadi diskriminasi sejak dulu awal negara berdiri. Namun pada 2016 ada keputusan MK yang merupakan terobosan besar, bahwa dalam agama dan kepercayaan tidak boleh ada diskriminasi. Berbeda tapi perlakuannya harus setara. Sayang yang menjadi terobosan MK sampai sekarang belum menjadi kekuatan politik untuk menjadi norma baru dalam peraturan.” Bebernya.
Komentar