Diskusi Akhir Tahun Universitas Paramadina “Evaluasi Kehidupan Beragama di Indonesia”

JurnalPatroliNews – Jakarta,- Kasus sektarianisme menempati posisi teratas temuan masalah dalam situasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) 2022. Hal ini disampaikan Husni Mubarak, Dosen Universitas Paramadina dalam Diskusi Evaluasi Akhir Tahun Kehidupan Beragama di Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Paramadina, Jumat (23/12/2022).

Hal tersebut menurut Husni umumnya bersentuhan dengan level negara di mana terdapat regulasi negara, aturan dan Undang-undang yang digunakan aparat negara dalam menyelesaikan problem-problem KBB agar tidak bertabrakan satu dengan yang lain.

“Salah satunya adalah kasus Roy Suryo ketika dituduh menodai agama dalam kasus gambar stupa dan ditindaklanjuti oleh Polisi. Kasus lainnya adalah ritual menikah dengan kambing, dianggap menodai agama dengan tersangka 4 orang.” ujarnya.  

Menurut Husni yang juga Peneliti pada Pusat Studi Agama dan Demokrasi, kasus-kasus KBB antar agama di mana masyarakat lebih banyak terlibat dalam penyelesaian dengan menggunakan regulasi sosial daripada regulasi negara.

“Pada kasus agama leluhur seimbang antara regulasi negara dan regulasi sosial. Dari 24 kasus hanya 2 perkembangan positif terkait KBB, yakni adanya KUHP baru yang menghapus UU PNPS 1965 dan pelayanan pendidikan bagi siswa pemeluk agama leluhur. Dan secara umum, lebih banyak kasus baru ketimbang kasus lama (sejak sebelum 2022) yang tidak kunjung selesai.” Imbuhnya.  

Namun menurutnya pada kasus Sektarianisme, seluruhnya adalah kasus baru pada 2022. “Pada isu antar agama, lebih banyak kasus lama yang belum selesai daripada kasus baru 2022. Pada isu agama leluhur, kasus baru lebih banyak daripada kasus lama yang belum selesai. Kasus sektarianisme lama (pra 2022) tidak muncul di berita kembali dibanding isu antar agama dan agama leluhur.”

Terdapat 3 masalah yang masih harus diselesaikan, yaitu masalah struktural, di mana sila pertama Pancasila dianggap tidak memberi ruang bagi warga yang tidak berketuhanan yang maha esa.

“Munculnya hierarki dalam Agama dan keyakinan. Agama dianggap lebih tinggi levelnya dari keyakinan. Norma untuk membatasinya terletak pada siapa yang lebih dominan, dan agama pada akhirnya dominan dalam menentukan boleh atau tidak.” Tuturnya.

Berikutnya adalah masalah kultural, kerukunan sebagai filosofi bernegara dirasa masih belum memadai. Toleransi masih pada level tak acuh terhadap orang atau kelompok yang berbeda, dan kurang peduli terhadap kepentingan orang lain.

“Masalah ketiga adalah masalahimplikasi struktural, harus jadi penekanan bahwa dibutuhkan satu kontrak kebangsaan baru tentang kehidupan beragama yang inklusif dan setara. Pada implikasi kultural  diperlukan perubahan paradigma terpenuhinya Hakku, adalah juga kepentinganmu.” Tegasnya.

Pembicara lainnya Trisno Sutanto, aktivis Paritas Institute menyatakan bahwa dalam sejarah perjalanan agama-agama, sudah cukup lama diwanti-wanti, bahwa akan terjadi pergeseran dari dimensi eksternal antar agama kepada dimensi internal, intra agama.

Komentar