Hari Air Sedunia 2022: Satu Tahun Menjelang Berakhirnya Privatisasi Air, Nyalakan Tanda Bahaya!

JurnalPatroliNews – Jakarta,- Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) pesimis terhadap proses penghentian privatisasi air di Jakarta.

 Hal ini mengingat proses kontrak perjanjian kerjasama terkait privatisasi air Jakarta ini akan berakhir di tahun 2023, namun proses transisi konsesi pengembalian pengelolaan air yang digadang-gadang akan berlangsung selama 6 bulan dirasa minim partisipasi publik dan tidak transparan.

 Akibatnya, dugaan akan upaya perpanjangan kontrak privatisasi air pun sangat mungkin terjadi.

Padahal, dibandingkan dengan menyerahkan pengelolaan air bersih di DKI Jakarta kepada swasta, ada banyak solusi alternatif yang bisa dilakukan oleh Pemerintah, diantaranya pengembalian pengelolaan air kepada Badan Usaha Milik Negara/Daerah atau menyerahkan pengelolaan tersebut langsung kepada masyarakat.

Privatisasi air di DKI Jakarta yang terjadi sebagai akibat perjanjian kerjasama negara dengan swasta sejak tahun 1998, hari ini masih berlangsung.

 Pengelolaan air yang diserahkan kepada swasta telah menjadi praktik perbuatan inkonstitusional yang bertentangan dengan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Bukan hanya itu, hal ini juga menimbulkan berbagai permasalahan di tengah masyarakat.

Pertama, mahalnya tarif air di wilayah DKI Jakarta. Pada awal konsesi, tarif yang dikenakan yaitu Rp1.700/m3. Sebagai dampak dari automatic tariff adjustment policy, perlahan namun pasti tarif yang tercatat pada 2012 menjadi Rp7.020/m3.

Kedua, ketersediaan air yang rendah. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya keluhan pelanggan yang menyebut bahwa baik kualitas maupun pengadaan aliran air masih kurang memadai.

 Data ketersediaan air bersih yang dirilis oleh PAM Jaya pada tahun 2017 menyebut cakupan pelayanan dan akses terhadap air bersih baru mencapai 60 persen dari total penduduk DKI Jakarta, artinya selama 20 tahun lebih privatisasi air, jumlah penduduk yang terlayani hanya meningkat 15 persen dari kondisi sebelum privatisasi.

Ketiga, kerugian negara yang harus ditanggung negara sebagai pengemban kewajiban pemenuhan hak atas air. BPKP DKI Jakarta mencatat kerugian yang diderita PAM Jaya sejak meneken kontrak privatisasi air hingga Desember 2015 mencapai Rp1,4 Triliun.

Kerugian tersebut antara lain terjadi karena PAM Jaya harus membayar kewajiban (shortfall) kepada perusahaan swasta sebesar Rp. 395 miliar dan Rp237,1 miliar. Keempat, kurangnya transparansi dan akuntabilitas.

 Sampai dengan 2013 dokumen kerjasama antara PAM Jaya dengan korporasi swasta tidak pernah diungkap di publik padahal publik memiliki hak mengetahui setiap perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak swasta dalam pengelolaan barang publik sebagai bagian dari keterbukaan informasi publik.

Kelima, beban berlapis bagi perempuan, karena perempuan yang berperan sebagai penyedia air keluarga dan rumah tangga, harus bekerja dan berpikir lebih keras untuk memastikan ketersediaan air.

Perempuan juga terpaksa menggunakan air dengan kualitas yang buruk hingga mengakibatkan gangguan kulit dan kesehatan reproduksi.

Perayaan Hari Air Sedunia seharusnya mengingatkan kita semua, bahwa setiap makhluk hidup di muka bumi berhak atas akses terhadap air bersih, sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya.

Komentar