Jenderal Andika bukanlah sosok panglima yang “angker” seperti tipolog panglima TNI masa lalu. Edna menyoroti background menarik Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. “7 tahun studi public policy di Amerika Serikat (AS) menyebabkan Andika paham dan mempunyai karakter kepemimpinan yang cukup terbuka terhadap sipil, baik ketika beradu argumen atau berbeda pendapat, dan mau mengakui jika pendapat kita benar.” Katanya.
Ia juga mengungkapkan tentang pengaruh TNI terhadap perkembangan demokrasi. “Secara struktural dan kultural sejak reformasi 1998 TNI telah mengambil posisi berbeda, bahkan anggaran pertahanan selalu rendah hanya 1 persen, bahkan tidak sampai.” Katanya.
Edna mengungkapkan bahwa masyarakat sipil yang terkesan gagal dalam melakukan konsolidasi demokasi. “Hal itu dibuktikan dengan realitas kapasitas birokrasi sipil kita yang memang masih kedodoran di berbagai lini.”
Terkait persoalan Papua, Edna menyatakan bahwa Jenderal Andika cukup sadar, bahwa memenangkan Papua tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan militer saja.
“Tetapi pendekatan sipil dengan cara operasi melawan insurgensi kepada seluruh rakyat Papua. Bukan perebutan wilayah yang harus dimenangkan, tetapi heart and mind (merebut hati dan pikiran) rakyat Papua.”
Meski sebagai prajurit, TNI harus cukup kuat namun bukan untuk menyakiti masyarakat. Yang harus dihabisi adalah pikiran untuk merdeka, bukan orang yang menuntut merdeka.
“Kunci melawan insurgensi adalah dengan merebut hati dan pikiran rakyat, dan hal itu kini sangat berlomba dengan waktu. Kekalahan Amerika di Afghanistan kiranya cukup menjadi pelajaran.” Katanya.
Komentar