Salah satu faktor utama yang membuat Soekarno terjebak dalam stigma keterlibatan G30S/PKI adalah dominasi narasi tunggal yang dikendalikan oleh kekuatan media, baik domestik maupun internasional. Selama rezim Orde Baru di bawah Suharto, sejarah peristiwa G30S/PKI disajikan dalam bingkai hitam-putih yang memperlihatkan Soekarno sebagai figur yang setidaknya memiliki simpati terhadap komunisme, meski tidak secara langsung terlibat dalam pemberontakan. Dalam pelajaran sejarah selama rezim Orde Baru, G30S/PKI dijadikan alat propaganda politik untuk melegitimasi kekuasaan Suharto dan menghilangkan peran penting Soekarno dalam narasi bangsa. Drama politik ini didukung oleh penghapusan bukti-bukti sejarah yang berlawanan, termasuk dokumen-dokumen internasional yang mengungkapkan keterlibatan pihak asing dalam penggulingan Soekarno. Sejak tahun 1966 hingga pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, nama baik Bung Karno dicoreng oleh penggambaran sistematis yang menyudutkannya. Publik terjebak dalam narasi yang dipaksakan, tanpa mendapatkan ruang untuk menilai secara kritis dan obyektif mengenai apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa G30S/PKI.
Pencabutan ketetapan tersebut pada akhirnya membuka ruang untuk pelurusan sejarah yang sudah lama dinanti-nantikan. Bagaimana sebuah bangsa memahami sejarahnya akan mempengaruhi identitas nasional dan orientasi masa depan. Sebagai Bapak Bangsa yang telah menggali Pancasila sebagai dasar negara, Soekarno layak mendapatkan kehormatan dan pengakuan kembali atas jasa-jasanya. Pelurusan sejarah ini juga penting untuk menyingkirkan stigma yang selama bertahun-tahun menghantui keluarga Bung Karno, yang hingga kini masih merasakan dampak dari pengucilan politik terhadap Soekarno. Keluarga, masyarakat, dan generasi muda perlu diajak untuk memahami bahwa sejarah adalah proses yang dinamis, bukan narasi statis yang hanya ditulis oleh pemenang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu faktor utama yang membuat posisi Soekarno rentan adalah kebijakan luar negerinya yang tidak berpihak pada blok Barat, terutama Amerika Serikat. Soekarno dengan lantang menentang imperialisme dan kolonialisme, serta menjalin hubungan erat dengan negara-negara di blok Timur seperti Uni Soviet dan Tiongkok. Ini membuatnya menjadi musuh bersama bagi kekuatan Barat yang khawatir akan pengaruh komunisme di kawasan Asia Tenggara. Dalam dokumen-dokumen yang belakangan diungkap oleh peneliti sejarah dan akademisi, tampak jelas bahwa peristiwa 1965 adalah bagian dari upaya global untuk menggulingkan Soekarno dari kekuasaan. Operasi-operasi rahasia yang melibatkan agen-agen intelijen internasional, khususnya CIA, sangat terlibat dalam memanfaatkan krisis politik domestik Indonesia untuk menciptakan kondisi yang mendukung kudeta militer. Geopolitik yang bermain dalam peristiwa 1965 menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa lepas dari percaturan kekuasaan global. Soekarno, yang pada saat itu memimpin negara dengan gagasan non-aligned movement (gerakan non-blok), justru terseret dalam pusaran konflik ideologis antara kapitalisme Barat dan komunisme Timur.
Komentar