Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tidak semata-mata beroperasi melalui tindakan represif, melainkan juga melalui pengaturan wacana dan pengetahuan. Kekuasaan yang mendominasi tidak hanya bertujuan untuk mengontrol fisik, tetapi juga untuk mengendalikan narasi, persepsi, dan pemahaman masyarakat tentang sejarah dan kebenaran. Namun, Foucault juga menekankan bahwa di balik dominasi kekuasaan, terdapat resistensi. Kekuasaan tidak pernah absolut karena selalu ada perlawanan yang muncul. Dalam kasus Soekarno, resistensi ini dapat terlihat dalam upaya rehabilitasi yang diinisiasi pada era Reformasi. Rehabilitasi nama baik Soekarno merupakan bentuk perlawanan terhadap narasi sejarah yang selama tiga dekade dikuasai oleh kekuatan politik Orde Baru. Proses rehabilitasi ini berusaha mengembalikan Soekarno pada tempatnya yang benar dalam sejarah sebagai proklamator dan Bapak Bangsa, serta meluruskan stigma negatif yang menempel pada dirinya akibat narasi sejarah yang dipelintir.
Pemerintah, dalam hal ini, memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan pelurusan sejarah melalui rehabilitasi ini. Selain menghargai jasa besar Soekarno dalam kemerdekaan Indonesia, rehabilitasi juga harus menjadi momentum untuk mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk memahami pentingnya berpikir kritis terhadap narasi-narasi sejarah yang dipaksakan. Dalam sistem politik yang demokratis, sejarah tidak boleh dijadikan alat kekuasaan, melainkan harus berfungsi sebagai medium untuk menggali kebenaran dan membangun identitas nasional yang kokoh. Dengan demikian, urgensi rehabilitasi Soekarno oleh pemerintah menjadi semakin jelas bila dilihat dalam perspektif kekuasaan Foucault. Rehabilitasi ini bukan hanya soal politik, tetapi juga tentang etika sejarah dan keadilan bagi seorang tokoh besar yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi bangsa Indonesia. Rehabilitasi ini adalah upaya untuk merevisi wacana yang salah dan mengembalikan Soekarno ke tempat yang semestinya dalam sejarah
Komentar